Tuesday 2 August 2016

Revolusi Mental Dalam Persfektif Sosiologi Oleh : Suyito, M.Si Dosen Sosiologi Stisipol


         
Revolusi mental merupakan wacana yang sering dibincangkan dalam masyarakat Indonesia hari ini. karena masih perlu proses panjang untuk bisa mewujudkannya. Bukan mudah dan instan dalam membangun revolusi mental, karena penyakit-penyakit mental sudah terlalu lama dinegeri ini. akibat dari tidak tertatanya system yang baik. Membangun system sosial harus juga mampu menggerakkan sub system-sub system yang ada dinegara ini. ada yang mengatakan system dibangun dengan tidak ada celah sedikitpun, sehingga membuat orang tidak punya celah sedikitpun untuk melakukan perbuatan menyimpang. Para penganut teori system selalu mengatakan strukturlah yang mempengaruhi individu dalam masyarakat. tetapi ada juga tetap bertahan dengan mengatakan indivulah yang mendominasi terhadap masyarakat. perdebatan seperti ini memang cukup lama dan semakin melebar, karena dikembangkan oleh para pengikutnya sehingga semakin dominan perbedaan kedua teori itu terjadi. Sehingga muncul jalan ketiga yaitu strukturasi yang diprakarsai oleh Anthoni Giddent, yang mengatakan dua-duanya saling mempengaruhi. Struktur sosial dan individu atau agen sangat besar mempengaruhi atau timbal balik. Individu memang hidup dalam struktur tertentu yang membentuk individu, tapi seiring itu, individu juga bisa mengubah struktur itu. meskipun struktur sosial berpengaruh, manusia bukanlah mesin yang terus-menerus didikte oleh struktur. Anthoni Gidden mengembangkan suatu Teori Strukturasi dengan dualitasnya, yaitu ibarat kopi dan gula diaduk tetapi masih bisa merasakan mana manisnya gula dan pahitnya kopi. Kalau kita kaitkan dengan Revolusi Mental dibangsa ini, ternyata rusak mental penyebabnya adalah system sosial yang dibangun telah memberikan celah untuk individu untuk melakukan perbuatan menyimpang.
Dimensi Revolusi Mental dalam Keluarga
Dimulai dari dimensi keluarga, lingkungan sosial keluarga atau struktur sosial keluarga tidak memberikan transfer nilai-nilai sosialisasi terhadap anak, sehingga anak gagal untuk berpartisipatif dimasyarakat. Struktur sosial keluarga seharusnya ketat memberikan membangun sebuah system. Nilai-nilai sosial keluarga terhadap anak, seharusnya menjadi sebuah fundamental baru untuk bisa mengurangi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Orang tua harus juga bisa memberikan keteladanan atau contoh terhadap anak, sehingga anak meniru didalam keluarga.kedua orang tua terhadap anak jangan memberikan contoh yang transaksional setiap mendidik anak, karena akan membuat anak selalu menjadi manja dan tidak mandiri. System sosial keluarga harus bisa memberikan keteladan kepada anak, karena disitulah tanggung jawab orang tua terhadap anak. Apalagi dikaitkan dalam revolusi mental dalam keluarga, struktur sosial keluarga harus bisa memberikan semua nilai-nilai yang disesuaikan dengan pentingnya perbaikan mental dalam keluarga. Tetapi orang tua juga harus bisa memberikan contoh atau keteladanan pada anak. Sebab tujuannya agar system dalam keluarga bisa memberikan nilai-nilai perbaikan mental pada si anak. Jadi secara ekternal system nilai atau batasan-batasan boleh tidak boleh, kemudian norma-norma atau pantas tidak pantas menjadi sebuah fakta sosial dalam melatih mental sosial dalam sebuah struktur sosial. Perilaku mental menyimpang akibat dari gagalnya orang-orang dalam melakukan integrasi sosial atau pembauran dan kesadaran kolektif dalam system keluarga. Jadi secara fundamental nilai-nilai moral atau etika harus disosialisasikan secara terus-menerus sehingga menjadi institusionalisasi atau pembiasaan yang membekas, sehingga menjadi internalisasi atau mendarah daging dalam sebuah struktur sosial keluarga. Kemudian dalam system kepribadian menjadi fungsional sangat ditentukan oleh system sosial dan system budaya dalam keluarga.
 System sosial dalam keluarga apabila peran orang tua mampu dijalankan baik dimensi hak dan kewajiban, kemudian peranan keluarga yaitu orang tua harus menunjukkan pola perilaku yang diharapkan dalam keluarga. Kemudian secara etnometodologi dengan kesadaran praktis orang tua dalam berperan harus bisa selalu melakukan interaksi dengan anak-anaknya dalam setiap ruang-ruang didalam rumah tangga. Misalnya dalam ruang makan, ayah atau ibu harus selalu memberikan interaksi kepada anaknya akan pentingnya kejujuran dan kepintaran emosional, kemudian dalam ruang tamu juga harus demikian hendaknya. Jadi secara fundamental dalam ruang apapun dalam setiap kesempatan berinteraksi dengan sanak keluarga tetap memberikan sosialisasi akan pentingnya nilai-nilai moral sebagai wujud tanggungjawab sebagai mahluk sosial dan revolusi mental dalam keluarga. Sebagai generasi pendiri keluarga antara ayah dan ibu, juga harus tetap menjadi generasi pembangun nilai-nilai kejujuran, moral, agama, sosial, ahlakul karimah dan lain-lain. Sehingga sebagai generasi penikmat anak-anak menjadi bagian tidak terpisahkan dari dasar generasi pembangunan dalam keluarga. Kemudian secara fenomenologi realitas sosial tercipta dan terpelihara dalam relasi dialektis antara individu dan dunia sekitarnya. Jadi realitas sosial dalam keluarga terjadi tetap di bangun dalam relasi antara individu dengan lingkungan keluarga. Ini bisa diciptakan dengan melihat nilai ekternalisasi lingkungan keluarga, objektivasi dan internalisasi. Dalam dimensi ekternalisasi orang tua harus bisa membangun nilai sosial dan budaya disesuaikan dengan revolusi mental, sehingga anak selalu akan menyesuaikan dengan nilai tersebut. Selanjutnya dalam objektivasi sang anak dalam keluarga akan membangun sendiri makna revolusi mental dalam kejujuran, kebaikan, kehormatan, ahlak dan lain-lain. Dan terlepas dari realitas yang diciptakan oleh orang tua. Karena sudah mampu secara fundamental memaknai nilai-nilai ekternal keluarga tersebut. Kemudian secara internalisasi realitas sosial yang dipahami oleh individu baik secara ekternalisasi produk nilai-nilai sosial dan budaya kejujuran, ahlak, kehormatan, harga diri yang melekat dalam struktur sosial keluarga, dan secara objektivasi terlepas dengan independent memahami nilai-nilai tersebut dan secara internalisasi akhirnya bisa menerima nilai-nilai tersebut dengan penafsiran tersediri.
Kemudian dalam pembentukan diri dengan revolusi mental dalam keluarga secara sosiologi berbeda dengan pemahaman psikologi. Kalau sosiologi pembentukan diri itu melalui interaksi dengan orang lain disekitarnya. Sedangkan psikologi melihat diri itu dari watak manusia yang sudah dilahirkan. Dalam konteks sosiologi konsep diri itu dibentuk dengan interaksi sosial individu dengan lingkunan keluarga. Ayah yang mendidik dengan moral dan ahlak terhadap anaknya, kemudian menciptakan lingkungan keluarga yang nyaman. Ditambah lagi ibu juga demikian maka secara kontinyuitas interaksi anak dalam keluarga akan tumbuh pikirannnya seiring dengan berinteraksi dengan lingkungan sosial keluarga. Kemudian dari pikiran yang semakin tumbuh berkembang seorang anak menjadikannya dirinya sebagai objek dalam melakukan tindakannya. Kemudian secara etnometodologi dalam keluarga selalu orang tua harus bisa memantau dan menyadari setiap ruang-ruang yang ada dikeluarga. Misalnya diruang makan orang tua membicarakan tentang nilai-nilai dan norma kebaikan sosial, kemudian menceritakan tentang sejarah orang-orang yang mempunyai kejujuran dan yang tinggi moral dan ahlaknya sehingga membuat anak semakin tersosialisasi dengan kebiasaan tersebut. Kemudian diruang yang lain seperti ruang tamu harus tetap diskusi kepada anak untuk menyamakan persepsi tentang perlunya penanaman ahlak sejak dini dalam rangka membangun revolusi mental secara fundamental dalam keluarga. Jadi dalam analisis percakapan disetiap ruangan dalam keluarga harus diciptakan sosial-cultur seperti itu. kemudian orang tua juga harus mampu memberi contoh terhadap apa yang sudah disosialisasikan terhadap anaknya.
Kemudian secara fenomenologi komponen keluarga akan memaknai realitas sosial dalam keluarga yang apa adanya. Individu dalam keluarga memberikan makna-makna yang didapat dari kenyataan sosial keluarga. Untuk itulah keluarga harus mampu membangun realitas sosial budaya jujur, bermoral, berahlak, mengembangkan kepintaran emosional dan spiritual agar anak mampu berinteraksi dalam kebiasaan tersebut. Sehingga karena sudah terlembaga nilai-nilai tersebut, dengan independent anak akan mampu memaknai setiap realitas sosial dalam keluarga dengan sendirinya, bahkan bisa menginternalisasi atau memahami secara sendiri dan mampu mempraktekkannya. Kemudian keluarga harus juga megembangkan realitas atau kenyataan sosial tentang revolusi mental secara objektif. Terutama dalam menciptakan kebiasaan-kebiasaan kearah revolusi mental, sehingga lama-kelamaan pelembagaan tersebut menjadi suatu hal yang lumrah. Tetapi kalau tidak mampu memahami kebiasaan itu secara fundamental, tentu saja seorang anak dalam keluarga harus diberikan pemahaman tentang makna sosial revolusi mental dalam keluarga.
Dimensi Revolusi Mental Dalam Sekolah.
            Institusi pendidikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan secara mendasar juga sangat mendukung sekali terjadinya revolusi mental. Karena sekolah merupakan pintu atau gerbang dalam melakukan tranmisi budaya terhadap anak-anak sekolah. Transmisi budaya disekolah seperti disiplin masuk sekolah, baju yang rapi, budaya jujur, budaya saling menghormati antar siswa. Kemudian disekolah juga diajarkan budaya malu dan perasaan bersalah, disekolah harus diajarkan sportifitas dan tanggungjawab. Sehingga ada kaitan antara transmisi nilai dan norma yang diajarkan dikeluarga dengan tansmisi budaya di sekolah. Karena kalau tidak korelatif akan menyebabkan terjadinya split personality. Split personality itu kepribadian yang terpecah akibat tidak bisa menempatkan diri dalam masyarakat.
            Disekolah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai juga ikut menyumbang kuatnya revolusi mental sebenarnya. Konsep revolusi mental dalam sekolah harus bisa diperkuat dengan nilai etika, estetika dan logika. Nilai etika atau kepantasan dan kepatutan juga menjadi kebiasaan yang diajarkan dalam setiap sekolah. Bukan saja kepintaran logika yang diajarkan, tetapi yang lebih penting lagi adalah kepintaran emosional dan kepintaran spiritual perlu ditanamkan dalam institusi pendidikan. Kepintaran emosional perlu dilatih disekolah agar peka terhadap lingkungan sosial dimana individu itu berada. Guru sebagai pengajar dan pendidik juga harus bisa  memberikan contoh dan keteladanan kepintaran emosional itu. kepintaran emosional itu ukurannya adalah rasa dalam diri siswa dan para pendidik. Seorang siswa yang membenci dibohongi, tidak menepati janji, tidak disiplin, tidak suka dimarah dan benci dengan siswa mencontek. Jangan sampai di praktekkan budaya tersebut pada dirinya dan juga kepada orang lain. Sebab secara revolusi mental penyakit-penyakit mental akan menjadi sebuah darah daging kalau tidak dibendung di keluarga dan disekolah. Untuk itulah sekolah bukan saja membentuk manusia dengan kecerdasan intelektual, tetapi bagaimana kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual juga harus dibangun. Kemudian individu-individu yang berkarakter juga harus dibangun disekolah. Revolusi mental harus dibangun dari mulai keluarga dan sekolah.
 Peran pendidik dalam sekolah dari mulai kepala sekolah, para guru dan staf administrasi disekolah harus bisa menciptakan sosialisasi terhadap nilai dan budaya yang mendukung revolusi mental. Setelah semua dilakukan sosialisasi secara budaya dan sosial dilingkungan sekolah dengan revolusi mental, kebiasaan-kebiasaan itu bisa dilembagakan di sekolah bisa dengan tata tertib sosial, tetapi semua disekolah harus bisa komitmen mematuhi tata tertib sosial tersebut. Kemudian secara etnometodologi disetiap ruang-ruang disekolah, dan diruang informal tetap di kampanyekan nilai-nilai revolusi mental. Agar makna revolusi mental menjadi internalisasi dalam setiap individu disekolah dan menjadi budaya secara sosial di institusi pendidikan. Kemudian secara fenomenologi sekolah harus menjadi realitas sosial yang objektif, dengan pengertian bahwa  tradisi disekolah dengan dibangunnya revolusi mental akan menjadi sebuah hal yang biasa, dan tidak dipertanyakan oleh siswa-siswa dan para guru disekolah. Kemudian bagi individu yang kurang memaknai revolusi mental disekolah, akan berusaha mendapatkan makna tersebut dari interaksi sosial siswa dengan siswa lainnya. Sehingga bisa menerima struktur sosial tersebut.
 Kemudian secara interaksionis simbolik, symbol-simbol revolusi mental harus bisa memberikan makna terhadap para siswa dan para pendidik disekolah. Interaksi disekolah harus tetap memberikan control terhadap berlangsungnya proses revolusi mental disekolah. Siswa dalam berinteraksi dengan siswa lainnya, kemudian siswa berinteraksi dengan guru dan guru dengan kepala sekolah harus tetap disemangati dengan revolusi mental. Penampilan, persepsi, pemahaman terhadap revolusi mental harus dimiliki oleh siswa, para guru dan staf administrasi disekolah biar menjadi panggung depan dan belakang sekolah. Selanjutnya secara interaksionis simbolik konsep diri dalam sosiologi berbeda dengan psikologi. Dalam sosiologi Diri terbentuk dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Konsep diri siswa untuk bisa menerima revolusi mental harus selalu berbicara dalam ruang-ruang sekolah baik formal maupun informal. Cara berpikir dan bertindak seorang siswa ditentukan penafsirannya terhadap lingkungan sekolah. Untuk itulah lingkungan sosial harus di modif dan dibangun dengan budaya dan perilaku revolusi mental. Secara pertukaran sosial perilaku revolusi mental bisa diberikan juga reward dan punishment disekolah. Bagi siswa dan guru yang mampu memaknai revolusi mental dan tetap menjaga integritas diri baik secara sosial dan kultural disekolah diberikan reward sosial berupa penghargaan integritas award disekolah, sehingga memberikan motivasi untuk siswa lainnya. Kemudian secara intrinsic selain mendapatkan penghargaan integritas award tersebut, juga adanya nilai kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang mampu menjaga nilai itu dan memberikan inspirasi dan keteladanan. Tetapi bisa juga secara ektrinsik mendapatkan nilai materi sebagai motivasi untuk selalu komitmen terhadap revolusi mental disekolah.
Dimensi Revolusi Mental Dimasyarakat
            Secara system sosial masyarakat merupakan suatu tempat manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas dengan tujuan agar tetap berjalannya keseimbangan dimasyarakat. masyarakat dalam beraktivitas selalu menjaga ketertiban sosial agar tetap berlangsungnya tatanan sosial. Masyarakat tetap bertahan sampai sekarang karena ada sesuatu yang mempertahankannya yaitu integrasi dan kesadaran kolektif. Kalau pembauran dan kesadaran kolektif antar masyarakat tidak terjadi maka akan menyebabkan anomi sosial. Anomie ini akibat individu dalam masyarakat gagal paham dalam menyesuaikan diri dalam masyarakat, sehingga tujuan masyarakat terganggu akibat adanya penyimpangan perilaku dalam struktur sosial. Untuk itulah perlunya integrasi seorang individu yang sudah mendapatkan nilai sosialisasi dalam keluarga dan sekolah. Sehingga pola budaya dan sosial masyarakat bisa bertahan cukup lama. revolusi mental dalam masyarakat perlu dilakukan untuk menjadikan masyarakat semakin peduli terhadap lingkungannya atau pemimpinnya untuk tidak sedikitpun berlaku zalim atau tidak adil.
 Lingkungan sosial juga perlu diperbaharui dengan dibangunnya tatanan sosial secara structural fungsional. Nilai-nilai revolusi mental dikeluarga, institusi pendidikan perlu juga disambung dengan kuatnya nilai dan norma sebagai dasar perubahan perilaku masyarakat. revolusi mental dimasyarakat secara struktur sosial harus bisa beradaftasi dengan lingkungan sekitar, karena kita lihat hari ini khususnya masyarakat perkotaan spirit tanggungjawab sosial sangat rendah, sehingga perlu diperkuat dengan nilai kolektivitas dan kohesivitas. Modal sosial dimasyarakat perkotaan sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan. Dimasyarakat pedesaan masih kental terasa local wisdom atau local genious dan local naratif. Sehingga masyarakat bisa semakin kuat integrasinya, sehingga tidak terjadinya anomi sosial. Anomi adalah gagalnya melakukan integrasi sosial dan kesadaran kolektif. Karena modal sosial sudah mendarah daging dalam tatanan sosial pedesaan, sehingga sudah menjadi system budaya dan dasar perilaku masyarakat. dimasyarakat pedesaan yang control sosialnya masih kuat membuat orang-orang dipedesaan sangat kuat integrasinya. Berbeda dimasyarakat perkotaan yang sangat individualistis. Konsep revolusi mental dalam masyarakat perkotaan harus diciptakan budaya masyarakat kota. Keberadaan masyarakat kota harus ditertibkan oleh aturan-aturan hokum public oleh pemerintah. Kemudian pemerintah juga harus bisa memberikan keteladanan dengan selalu mengedepankan nilai-nilai public seperti integritas, kejujuran, disiplin, dan anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Dimasyarakat kota perlu dibangun kesadaran kolektif yang berkesinambungan dengan tetap mempertahankan budaya mental progresif.
 Secara sosiologis perlu dibangun masyarakat kota dengan symbol-simbol disetiap ruang kota ada revolusi mentalnya. Kemudian individu-individu yang rusak mentalnya juga perlu ditempel di public, agar bisa memberkan sanksi sosial terhadap individu-individu yang tidak komitmen dan lalai dalam menjalankan amanah sebuah jabatan. Tokoh masyarakat harus juga membangun kesadaran praktis tentang pentingnya revolusi mental dalam membangun tatanan sosial yang rusak saat ini. tokoh agama juga harus bisa memberikan keteladanan tentang ahlak revolusi mental didalam komunitasnya. Dosen dan guru juga harus sama memberikan spirit revolusi mental dalam proses interaksi sosial didalam institusi pendidikan. Jadi tugas pemerintah harus mampu menciptakan suatu system yang mengacu pada revolusi mental didalam masyarakat, jangan sampai ada celah sedikitpun dalam sebuah system terjadinya penyimpangan. Tugas dosen, guru, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama memberikan keteladanan didalam masyarakat. karena rusaknya negara ini bukan saja karena sistemnya saja, tetapi oleh orang-orang yang mengendalikan system tersebut. Tetapi ada juga yang mengatakan dua-duanya ikut berkontribusi terhadap rusaknya negara ini. jadi secara etnometodologi didalam ruang-ruang public harus tetap dibincangkan perlunya penanaman kembali revolusi mental untuk membendung semakin masifnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat akut.
Dilingkungan keluarga merupakan ruang pertama mendapat tempat untuk mentransmisi budaya jujur, integritas, bermoral dan punya harga diri serta anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Lingkungan pendidikan juga demikian, sehingga lingkungan masyarakat bisa menciptkan orang-orang yang punya integritas. Lingkungan masyarakat harus dibentuk sebuah komunitas yang diisi oleh orang-orang yang didalamnya sangat komitmen dan teruji integritasnya kemudian sudah melakukan simulasi tentang bagaimana mengelola kejujuran dan integritas masyarakat berbasis kearifan local. Kemudian system budaya dimasyarakat harus sudah terlembaga kebiasaan-kebiasaan positif yang mampu menjadikannya sebagai internalisasi dalam diri manusia. Secara fenomenologi masyarakat harus menjadi realitas sosial yang objektif artinya budaya mental yang baik harus menjadi sebuah kebiasaan yang mentradisi dikalangan masyarakat. peran dari masing-masing institusi sosial mampu menerapkan konsep revolusi mental sehingga menjadi budaya mental akhirnya. Kemudian realitas sosial masyarakat subjektif terjadi apabila seorang individu tidak mampu memahami makna-makna budaya dan perilaku mental positif dimasyarakat. saat berinteraksi harus diberikan penjelasan oleh individu lain, kemudian memberikan transmisi budaya local dan akhirnya menjadi bagian dalam struktur sosial masyarakat.
            Kemudian realisasi revolusi mental dalam ranah pertukaran harus juga diberikan reward anda punishment. Karena manusia adalah mahluk rasional, kemudian memperhitungkan untung dan rugi. Revolusi mental akan berhasil guna dimasyarakat apabila ada dukungan sosial dengan memberikan imbalan sosial berupa penghargaan, penghormatan dan dukungan sosial terhadap orang-orang yang berhasil menerapkan dalam kehidupan sosial masyarakat. imbalan taktis juga secara ektrinsik perlu juga diberikan agar memberikan motivasi untuk tetap komitmen dalam ranah revolusi mental. Dalam ranah pertukaran antara individu dan kelompok atau struktur sosial.
Dimensi Revolusi Mental Dalam Ranah Politik
            Dalam ranah politik Revolusi Mental perlu terobosan mendalam dalam mewujudkan revolusi mental. Hingar bingar perpolitikan di negara ini tidak pernah sepi akibat dari para politisi yang semakin miskin dari budaya malu dan perasaan bersalah. Ranah politik selalu memberikan gambaran dari orang-orang yang mendengarkannya, bahkan membincangkannya semakin apatis dibuatnya. Karena para politisi dinegara ini kurang bisa menjual ideology yang bisa mensejahterakan masyarakat. diranah politik perebutan kekuasaan dan kepentingan ekonomi politik merupakan kejadian sehari-hari. Padahal nilai politik pada hakekatnya adalah untuk kesejahteraan umum, keadilan dan kemaslahatan masyarakat. hakikat politik semakin kabur akibat prilaku para politisi berpikiran sempit dan sangat kapitalistik. Mandat rakyat yang diberikan oleh masyarakat sudah sering disalahgunakan dalam politik. Padahal kepercayaan public menjadi nomor satu untuk didahulukan, tetapi sebaliknya politisi dan elit partai berebut kepentingan dan tak jarang konflik dalam sebuah partai.sebagai negara demokrasi ini sebuah tantangan politik kedepan. Karena kalau kita lihat partai politik sebagai pilar demokrasi harusnya memberikan pendidikan politik yang sehat dan cerdas kepada msyarakat, sehingga jalan demokrasi dinegara ini semakin tumbuh dan berkembang. Konsep revolusi mental perlu dipertegas dalam ranah politik di negara ini. jangan sampai revolusi mental hanyut oleh kepentingan elit penguasa dan hanya sebuah jargon politik, tetapi miskin realitasnya. Untuk itulah negara harus merubah dari undang-undang partai politik sampai dengan undang-undang dalam pemilihan kepala daerah harus memberikan syarat khusus tentang adanya sanksi bagi pemimpin yang gagal dalam mewujudkan janjinya saat berkuasa.
Revolusi mental perlu dibangun dalam pertumbuhan politik di era demokrasi saat ini, karena demokrasi telah mengaburkan hakekat reformasi sebenarnya. Reformasi telah semakin hanyut dari agenda besar negar ini pasca tumbangnya rezim totaliter. Rezim penguasa semakin amnesia untuk bisa dengan cepat menuntaskan agenda korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu untuk mempercepat reformasi birokrasi semakin tidak menunjukkan hasilnya, karena kurang komitmen dan konsisten. Setiap suksesi atau pergantian pemimpin selalu berulang kembali dalam membangun pondasi dipemerintahan bangsa ini.seharusnya pondasi pemerintahan yang sudah dibuat oleh orde sebelumnya dilanjutkan oleh rezim yang baru berkuasa, sehingga tidak membuat pembangunan menjadi mubazir. Disitulah perlunya revolusi mental diterapkan dengan tegas. Partai politik harus melakukan reformasi secara total untuk merubah diri menjadi tempat pendidikan politik, rekrutmen politik, sosialisasi nilai-nilai politik dan pengatur konflik. Hingar bingar partai politik dalam merebutkan kepentingan syahwat sesaat harus diberikan sanksi oleh pemerintah, agar tumbuh sehat partai politik di negara ini. nilai-nilai revolusi mental dalam partai politik akan berhasil guna apabila mampu melakukan adaptasi dengan tuntutan masyarakat saat ini yang inginkan adanya perubahan secara fundamental dalam bidang ekonomi.
Goal atau tujuan dari partai politik sebagai pilar penegak demokrasi benar-benar bisa memberikan kontribusi positif dalam system politik saat ini. partai politik baru harus bisa menangkap isyu dari kebutuhan masyarakat yang menginginkan adanya darah baru partai politik untuk merubah kebiasaan elit partai politik yang haus kepentingan, syahwat kekuasaan menjadi politisi yang mengedepankan nilai-nilai prestise dalam masyarakat. karena kalau politisi masih juga memikirkan sandang, pangan dan papan secara fundamental, bagaimana mau merubah masyarakat dan negara ini. harusnya kebutuhan psycologi itu menjadi hal yang sudah tuntas pada saat berpolitik, sehingga dapat dengan mudah menerapkan revolusi mental dikalangan elit. Politisi sebagai wakil rakyat harus bisa memberikan contoh terdepan dalam panggung depan masyarakat sebagai penegak kedaulatan demokrasi rakyat. revolusi mental secara sistematik harus menjadi pembiasaan di dalam system politik di negara ini. diwilayah wakil rakyat harus dibangun untuk sportif apabila tidak komitmen dalam janjinya, mundur dari jabatannya, karena tidak mampu dan tidak amanah. Proses revolusi mental harus dibincangkan dalam setiap momentum di dalam gedung rakyat seperti Dewan Perwakilan Rakyat. rakyat sebagai kenyataan sosial objektif tetap harus ditumbuhkan semangat kritisnya terhadap perilaku para wakil rakyat yang tidak bekerja untuk rakyatnya. Tanggung jawab sosial partai politik harus dibangun dengan perkaderan politik yang disesuaikan dengan ideology partai politik dan platform partai politik.
Momentum revolusi mental harus tetap digaungkan dalam setiap ruang-ruang public, agar masyarakat mampu mewarnai dan mengontrol jalannya pemerintahan serta cheks and balances didalam demokrasi saat ini. kemudian seleksi kepemimpinan partai politik harus didasari semangat revolusi mental dalam prosesnya sehingga muncul pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat. jangan sampai hanya tontonan masyarakat, tetapi keputusannya ditangan kekuasaan yang tidak kelihatan dan sangat tersembunyi. Hakikat seleksi kepemimpinan tidak akan menjadi contoh yang baik, jika dalam proses dan keputusannya selalu menggunakan variable uang dan kepentingan praktis dari segelintir elit partai politik. Disinilah perlunya variable revolusi mental system partai politik dan mental orang-orang yang menggerakkannya. Perlunya paradigm baru dalam pembangunan partai agar bisa memulihkan kepercayaan masyarakat dalam pembangunan politik di negara ini. shifting paradigma lama dengan nilai revolusi mental tidak hanya bersifat simbolis semata, tetapi perlu adanya ideology baru dalam tumbuh kembang partai politik. Politik dengan dasar revolusi mental harus dikembalikan ke hakikat semula yaitu kesejahteraan masyarakat, keadilan dan kemakmuran rakyat. agar momentum partai politik dalam membangun demokrasi bisa berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Dimensi Revolusi Mental dalam Ekonomi
            Dimensi revolusi mental dalam pembangunan ekonomi mestinya tetap menjadikan nilai-nilai pancasila sebagai filosopis dalam membuat kebijakan ekonomi. Pancasila sebagai filosopis groonslag menjadi dasar setiap pembangunan ekonomi di negara ini. nilai pancasila kalau diperas akan menjadikan gotong-royong dan ekonomi yang sesuai adalah koperasi. Tetapi kenyataannya koperasi juga mengalami pendangkalan nilai, karena koperasi juga terseret-seret dengan model kapitalisme. Kita lihat hari ini revolusi mental dalam bidang ekonomi masih kentalnya aroma monopoli berniaga atau berniaga. Ekonomi harus mengedepankan nilai kebutuhan, bukan keinginan dalam masyarakat. sebab secara preferensi aturan atau budaya ekonomi secara structural bisa berjalan dengan tetap menjaga nilai kearifan local. Ekonomi Indonesia sekarang ini lebih banyak dikuasai oleh para konglemerat dan juga para mafia ekonomi. Pemerintah harus tegas dalam mengatur pembangunan ekonomi, karena kalau diserahkan pada mekanisme pasar akan tentu saja yang akan menguasai adalah para pemilik modal. Neo liberalisme menguasai bangsa ini karena pemerintahan tidak pro terhadap kepentingan rakyat. modal ekonomi dikuasai oleh para kapitalisme, karena adanya perkawinan kepentingan antara pengusaha dan para birokrat.
            Fundamentalisme ekonomi secara structural dikuasai oleh para konglemerat dengan segala macam bisnis dimasyarakat. misalnya pemerintah didaerah tidak pro terhadap pembangunan ekonomi pasar tradisional yang sangat miskin fasilitas, dan terlihat kurang terawat. Sementara pasar modern diberikan tempat oleh pemerintah untuk berkuasa dalam masyarakat, tentu saja pemilik modal besar akan mempengaruhi perekonomian didaerah. pemerintah harus direvolusi juga mental membangun dalam hal ekonomi. Karena adanya pemerintah untuk melayani masyarakat, bukan hanya komunitas pengusaha. Kemudian pembangunan dalam bidang ekonomi harus bisa mengandalkan pemerataan produktivitasnya dimasyarakat. agar tumbuh secara kreatif kutub-kutub ekonomi dimsyarakat. Kita sering melihat didaerah juga sangat dimiskinkan oleh kelompok-kelompok structural, sehingga kalah bersaing dalam asset dan akses keluar.
 Pertumbuhan ekonomi kadang tidak sesuai dengan harapan dan realitasnya dilapangan. Padahal sudah dimaksimalkan investasi, ekspor, pengurangan terhadap impor dan saving atau tabungan diperbanyak. Tetapi dalam kenyataannya pengangguran semakin meningkat, lapangan pekerjaan tidak tersedia, kemiskinan semakin bertambah. Ini akibat dari pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Sekali lagi dalam amant Undang-Undang Dasar 1945 dengan amandement saat ini seharusnya kita ini adalah penganut negara Kesejahteraan atau Welfare State. Tetapi dalam kenyataan perekonomian kita dikuasai oleh para kapitalisme yang kawin kepentingan dengan para konglemerat. Kembali dengan konsep revolusi mental dan nawa cita generasi pendiri negara ini perlu cepat direalisasikan berdaulatnya ekonomi di masyarakat, agar pertumbuhan ekonomi dimsyarakat semakin tumbuh dan berkembang. Revolusi mental setiap pemimpin harus didasari oleh jiwa kebangsaan dalam membangun ekonomi. Sehingga tidak mudah untuk dirayu bahkan pertukaran kepentingan demi segelintir elit ekonomi. Sangat miris sekali kalau kita lihat penguasa kekayaan di negeri ini hanya segelintir elit ekonomi dan politik, sementara masyarakat memiliki saham yang sedikit saja. perlu kembali kedalam Undang-Undang dasar dan nilai-nilai ideology pancasila, sebagai spirit dalam membangun revolusi mental dalam perihal ekonomi kita saat ini. kalau tidak kembali ke ideology bangsa ini, maka jangan harap negara ini akan memakmurkan rakyatnya, justru akan kehilangan arah dan terjebak dengan kepentingan para pemodal. Bahkan akan muncul persepsi public bahwa penguasa merupakan perpanjangan tangan para elit penguasa didaerah. gerakan revolusi mental dalam pembangunan ekonomi harus bisa membendung monopoli para elit ekonomi yang selalu kawin kepentingan dengan para penguasa didaerah. revolusi mental bukan saja hanya pada ranah kognitif saja, tetapi pada ranah feeling dan tindakan juga harus cepat direalisasikan. Karena persoalan ekonomi kita hari ini sebenarnya sudah jauh menyimpang dari semangat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 tentang perekonomian harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak. Ini bisa dilihat statement dari mantan ketua KPK yang mengatakan bahwa 50% pengusaha tidak membayar royalty kepada negara, jadi sekitar 20.000 trilyun. Penyebabnya adalah mental para pejabat yang sangat korup dan serakah, tidak peka terhadap kepentingan masyarakat. kalau itu benar terjadi juga akibat miskinnya kesadaran moral dan tidak punya jiwa kebangsaan.
Jadi pembangunan ekonomi dalam konsep revolusi mental tetap harus memberdayakan masyarakat, karena hakikat dari pemberdayaan adalah mengeluarkan masyarakat dari belenggu kemiskinan. Semoga dengan gerakan perubahan mental dalam bidang ekonomi mampu merubah wajah perekonomian menjadi lebih berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kapitalis yang serakah.
Dimensi Revolusi Mental dalam hukum
            Pembangunan dalam bidang hukum perlu dipertegas dengan komitmen moral bagi para aparat penegak hukum, karena wajah penegakan hukum kita hari ini masih juga diwarnai adanya mafia hukum dan makelar kasus. Munculnya komisi pemberantasan korupsi di republic ini pasca tumbangnya orde baru memunculkan sebab bahwa perjuangan penegakan hukum telah tersandera oleh kepentingan politik dan ekonomi. Kepentingan politik para penguasa telah membuat penegakan hukum di Indonesia melemah. Apalagi berhadapan dengan elit ekonomi yang konglemerat, sering kita lihat di layar kaca oknum penegak hukum ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi pemberantasan korupsi hadir di tengah-tengah masyarakat adalah untuk memberikan kepercayaan public akibat dari lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum lainnya. Tetapi dalam kenyataannya para penegak hukum melakukan penyanderaan hukum terhadap para penegak hukum lainnya. Inilah yang menjadi tontonan yang menarik dilayar kaca, media massa dan elektronik. citra hukum sebagai panglima dinegara ini telah berubah menjadi negara kekuasaan. Hukum sudah tidak lagi menjadi panglima untuk menjadi eksekutor para pelanggar hukum dinegeri ini. tetapi justru menjadi alat barter kepentingan dengan para penguasa yang terlibat kejahatan korupsi. Otonomi daerah telah menjadi kesempatan penguasa didaerah menjadi raja-raja kecil untuk bisa korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita padahal semua anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Tetapi dalam kenyataannya system pilkada telah memberikan peluang orang-orang didaerah untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan para kerabat dekatnya. Sudah begitu banyak penguasa daerah yang tertangkap tangan oleh komisi pemberantasan korupsi, tetapi justru tidak memberikan efek jera terhadap para kepala daerah lainnya.
            Perlu pencegahan dini atau earling warning system dilakukan oleh para penegak hukum, supaya bisa menahan lajunya tingkat korupsi di negara ini.  tetapi yang lebih penting juga para penegak hukum secara internal harus bersih dan komitmen dalam penegakan hukum. Karena wajah hukum sering dinodai juga oleh para penegaknya sendiri, lihat saja di tahun 2016 kemaren oknum jaksa ketangkap komisi pemberantasan korupsi, sekretaris Mahkamah Agung juga statusnya dicegah untuk keluar negeri, karena terindikasi adanya suap oleh para penjahat. Revolusi mental dilakukan tidak saja pada mentalnya para aparat, tetapi system hukum juga harus direformasi agar tidak ada celah sedikitpun untuk melakukan penyimpangan hukum. Karena dalam prakteknya aparat penegak hukum juga tersandera oleh budaya struktur hukum dan para penegak hukum itu sendiri. Dan yang membuat culture shocknya bangsa ini saat penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi terlibat suap milyaran dalam memutuskan hasil pilkada, MK sebagai sebuah banteng takeshi penegakan hukum di negara ini menjadi tumbang dan roboh. Kepercayaan masyarakat menjadi di titik nadir terhadap penegakan hukum ini. perlu reformasi total dalam bidang pembangunan hukum dinegara ini, sebab trust atau kepercayaan public perlu dibangkitkan kembali agar bisa menuntaskan agenda korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebab virus korupsi, kolusi dan nepotisme semakin dahsyat dibandingkan di negara ini. perlu penegakan dan pencegahan hukum berjalan seiring untuk low enforcement di masyarakat. dalam revolusi mental pembangunan hukum harus tuntas oleh pemimpin saat ini, perlu gerakan cepat dalam aksi revolusi mental dalam bidang hukum, karena  hukum di negara ini sering tersandera oleh kekuasaan. Sehingga penegakan hukum menjadi lemah dan terperangkap oleh kepentingan politik dan ekonomi. Penegakan hukum harus menyeluruh di semua bidang kehidupan bangsa ini,mulai dari pembangunan bidang ekonomi harus diberantas monopoli para kapitalistik sehingga membuat tidak sehatnya pertumbuhan ekonomi. Jargon pembangunan atau development yang dilaksanakan oleh pemerintah sering kita lihat business usual selalu menjadi perusak dalam setiap pembangunan. Mental mencari untung dalam setiap pembangunan pemerintah dipusat maupun didaerah sudah menjadi kebiasaan yang harus dilibas dan dipangkas agar bisa mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada public. penegak hukum harus bisa bersama-sama menyelesaikan persoalan hukum didaerah. karena revolusi mental harus juga disertai dengan contoh dari pusat untuk memulainya. Budaya malu dan perasaan bersalah dalam wilayah hukum juga harus dibangun dan diwujudkan dalam praktek sehari-hari. Supaya bisa memberikan harapan kepada public untuk terwujudnya hukum yang berkeadilan dan tidak subjektif.
Dimensi Revolusi Mental Di Birokrasi Pemerintahan
            Birokrasi pemerintahan dalam praxis sosial secara structural fungsional harus bisa berjalan sesuai dengan fungsinya. Empower atau pemberdayaan pada pada ranah birokrasi, servicing atau pelayanan birokrasi terhadap masyarakat, kemudian development atau pembangunan infrastruktur juga merupakan fungsi pemerintahan. Revolusi mental perlu juga dibangun pada tataran birokrasi pemerintahan agar bisa memperbaiki kinerja secara progresif dan produktif. Sering kita lihat birokrasi dipemerintahan pasca diberlakuka otonomi daerah, banyak sekali hambatan-hambatan untuk bisa merealisasikan tujuan mensejahterakan masyarakat. akibat dari kuat dan kentalnya primordialisme mempengaruhi birokrasi didaerah. reformasi birokrasi dengan konsep revolusi mental secara sosiologi adalah membangun system yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kemudian secara mentalitas individu-individu dalam struktur birokrasi juga ikut menyumbang terjadinya penyimpangan dalam birokrasi. Jadi rusaknya birokrasi di negara ini bukannya karena sistemnya yang rusak, tetapi juga pengaruh dari individu juga. Secara strukturasi Anthoni Gidden dengan konsep dualitas menjelaskan ilustrasi seperti kopi dan gula diaduk menjadi satu, tetapi bisa merasakan rasa pahitnya kopi dan manisnya rasa gula. Secara system sosial harus ada keberlangsungan system birokrasi untuk mewujudkan kinerja aktif dengan fungsionalnya peran dan peranan dari pada orang-orang yang duduk pada ranah birokrasi. Kontribusi aktif dari masing-masing birokrat memberikan semangat integrasi untuk tetap menjaga solidaritas dari system sosial. Tetapi dengan semangat revolusi mental, perbaikan dan restrukturasi birokrat mesti harus di laksanakan dengan segera. Agar mesin birokrasi berjalan tanpa adanya penyimpangan struktur dan deviasi agen dalam perjalanannya. Dalam analisa system parson dengan AGIL berusaha untuk bisa menjelaskan system sosial secara sosial. AGIL yaitu adaptif, goal, integrasi,dan laten maintenance. Adaptif adalah kemampuan menyesuaikan dengan kondisi diluar lingkungan birokrasi yang menuntut untuk perbaikan system yang sangat kental dengan variable korupsi, kolusi dan nepotisme. Kepercayaan atau trust terhadap birokrasi akan pulih apabila mampu mereformasi diri dengan tuntutan public. kaca mata public harus tetap dijadikan variable pendukung dalam melakukan perubahan secara total didalam birokrasi. pasca reformasi di negara ini dan diberlakukannya  kekuasaan otonomi daerah telah membuat mesin birokrasi semakin kurang professional dalam bekerja. Tuntutan perbaikan birokrasi akibat dari semakin menguatnya patron politik, putra daerah, dinasti politik, korupsi politik telah semakin menyuburkannya praktek-praktek penyimpangan jalannya birokrasi secara professional, jujur dan berintegritas. Lingkungan luar birokrasi merasakan perlunya dibangun system birokrasi yang tidak terpengaruh dengan adanya primordialisme dan dominasi elit politik local.
 Goal atau tujuannya adalah untuk tetap berjalannya birokrasi sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat. bukan alat politik para penguasa didaerah untuk mendukung setiap kebijakannya demi segelintir elit. Goal atau  tujuan dari adaptasi terhadap lingkungan sosial dimana birokrasi berada dalam lingkungan masyarakat untuk bisa merespon public terhadap jalannya roda birokrasi. Tujuan birokrasi tidak akan tercapai apabila tidak bisa menyesuaikan dengan kemauan public tentang birokrasi yang transparansi dalam pengelolaan keuangan, disiplin tetap berjalan secara on the track, dan kinerja birokrat semakin professional. Reformasi birokrasi menjadi tujuan semua dalam system ini akan berjalan lamban apabila tidak membuat skala prioritas dalam mencapai tujuan setiap reformasi dilakukan. Revolusi mental menjadi variable penghambat dari semakin bobroknya reformasi birokrasi, kalau pemerintah serius. Tetapi jika penguasa hanya menciptkan slogan dan komoditi politik tentang revolusi mental untuk perbaikan birokrasi, maka itu namanya sampah politik. Kotoran politik, limbah politik pencitraan yang semu justru akan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap birokrat.untuk itulah perlu komitmen penguasa untuk melakukan revolusi mental dalam ranah birokrasi agar tujuan dari otonomi daerah juga tercapai. Integrasi atau pembauran terhadap masyarakat dengan sudah direformasinya birokrasi akibat dari penyesuaian kehendak public, tentu saja akan bisa diterima oleh masyarakat. tingkat pelayanan public harus diperbaiki, agar bisa semakin dekat dengan masyarakat dengan pemenuhan kebutuhan service masyarakat. birokrasi yang masih belum melakukan keterbukaan terhadap kinerja dan progress report dimasyarakat, akan susah bergaul dengan apa yang diharapkan oleh public. perlu dijaga pola dari perubahan reformasi birokrasi tersebut. Jangan sampai aspirasi dari masyarakat tidak membuat reformasi birokrat menjadi terhambat, karena dalam ruang demokrasi terlalu banyak pesan yang disampaikan untuk melakukan perubahan mental dalam ranah birokrasi. Ini menjadi catatan penting  untuk serta merta dilakukan agar tujuan birokrasi bisa diharapkan oleh public. semakin prosesionalnya birokrasi tentu saja pelayanan akan tercipta denagn baik. Semakin baik kinerja birokrasi dalam masyarakat, pasti keinginan untuk melakukan pergaulan dengan masyarakat semakin tidak kesulitan. Terpenting adalah menjaga pola atau bentuk perubahan dalam birokrat sehingga tidak merusak sebuah system sosial birokrasi didaerah. revolusi mental dalam birokrasi juga selain system yang diperbaiki, juga diperbaiki mental individu birokrat itu sendiri. Karena secara individual birokrat di isi oleh orang-orang yang kompeten dan melalui proses recrutmen yang sangat panjang. Orang-orang dalam birokrat juga harus direvolusi mentalnya, agar tidak larut dalam budaya lingkungan dimana dia berada. Sehingga yang direvolusi mentalnya tidak saja hanya pada system atau struktur saja, tetapi juga pada individu didalam birokrat.

No comments:

Post a Comment