Sebab praktek pemanfaatan uang hasil
korupsi untuk kepentingan partai politik itu terungkap dalam persidangan
terhadap mantan anggota komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti, di pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Oknum Politisi PDI-P memberikan total uang 600
juta untuk kepentingan kampanye partai
di semarang dan Kendal dalam pemilihan kepala daerah 2015. Uang itu berasal
dari suap pengusaha abdul khoir kepada damayanti untuk jaminan pelaksanaan
proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara yang di usulkan Damayanti lewat
program aspirasi DPR(Kompas 2/8/16). Kemudian yang teranyar juga operasi
tangkap tangan terhadap mantan anggota komisi III DPR I Putu Sudiartana.
Kasus penangkapan oknum anggota
DPR tersebut telah memberikan
ketidakpercayaan kepada public, ternyata sebutan anggota dewan terhormat sudah
kehilangan makna akibat wajah politik transaksional yang menyebabkan diseretnya
para wakil rakyat ke hotel prodeo. Panggung depan politik sering kita melihat
saat berkampanye para calon anggota dewan akan jujur dan bekerja sesuai amanat
dan mandat yang diberikan oleh masyarakat. tetapi kenyataannya panggung depan
itu merupakan sampah politik pencitraan yang mengotori demokrasi saat ini.
tidak mampunya menjaga integritas dan kepercayaan dari masyarakat semakin
perlunya partai politik memberikan sanksi kepada anggotanya saat terlibat dalam
kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.
Realitas sosial seperti ini memberikan
pengetahuan kepada masyarakat bahwa ternyata ada kong kalikong atau pat gulipat
antara oknum anggota dewan dan oknum pengusaha dalam mengamankan
kepentingannya. Modus lewat program aspirasi wakil rakyat ini telah melakukan
transaksional politik yang berujung untuk memperoleh modal politik. Ini suatu
fenomena yang tidak aneh terjadi dikalangan wakil rakyat kita. Mereka melakukan
pertukaran kepentingan untuk memperbanyak pundi-pundi keuangan sebagai modal
politik wakil rakyat. kesadaran secara praktis dan fungsional wakil rakyat
seperti ini harusnya menjadi catatan dalam perekrutan oleh suatu partai
politik. Kalau dilihat dari fenomena diatas menunjukkan masih kuatnya dominasi
psykological need dalam Teori Abraham Maslom tentang Piramida Kebutuhan
Manusia. Seharusnya para wakil rakyat tersebut menjadi teladan dimasyarakat
dengan selalu melakukan aktualisasi nilai-nilai moral dimasyarakat. bukan
sebaliknya menjadi politisi busuk yang tidak punya integritas dan miskin
moralitas. Lupa mandat yang diberikan oleh
rakyat adalah suatu penghianatan terhadap kepercayaan public. apalagi
rakyat tempat daerah pemilihan oknum wakil rakyat tersebut pasti akan merasa
bersalah, karena akibat memilih oknum wakil rakyat yang melacurkan
kepentingannya demi segepok uang.
Oleh
karena itu perlu reformasi pembenahan system pembahasan anggaran di Dewan
Perwakilan Rakyat. di mulai dari pembahasan di tingkat komisi sampai dengan ke
badan anggaran. Kemudian transparansi dalam system pembahasan tersebut harus
dibuka ke public, agar bisa mengawasi atau controlling terhadap system tersebut.
Dengan catatan dengan perbaikan system pembahasan dari tingkat komisi sampai
banggar harus diciptakan system yang tidak memberikan peluang para wakil rakyat
untuk melakukan perbuatan politik transaksional. Bisa saja system penganggaran
menggunakan elektronik sehingga semuanya tercatat. Kemudian peran civil society
juga harus selalu mengawasi jalannya pembahasan tersebut, agar mendorong
keterbukaan informasi kepada public terhadap kinerja para wakil rakyat.
Kemudian
lembaga anti rasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus serius
melakukan fungsi pencegahan, jangan sampai professional dalam fungsi
penangkapan tetapi sangat tidak maksimal dalam mencegah perbuatan menyimpang
seperti korupsi seperti ini. jadi harus maksimal dalam fungsi pencegahannya,
karena Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan Lembaga adhoc atau sementara. Kemudian
harus bersinergi juga dengan lembaga penegak hukum lainnya, agar bisa dengan
cepat menuntaskan agenda reformasi saat dulu didengungkan oleh mahasiswa dalam menurunkan rezim totaliter.
No comments:
Post a Comment