Pemimpin
yang sadar diri tentu saja tidak didominasi kesadaran secara indrawi semata,
kalau itu terjadi maka seperti uraian diparagraf diatas, tidak akan efektif dan
berhasil dalam mensejahterakan masyarakat. kemudian menurut Hamka, kalau hidup
hanya untuk makan dan minum, kawin, menjadi tua dan mati sama saja dengan
binatang. Seorang pemimpin ditengah-tengah masyarakat harus sudah lepas dari
belenggu kebutuhan indrawi. Sebab seorang pemimpin bukan pekerja yang memiliki
waktu jam 8 masuk dan jam 5 pulang. Seorang pemimpin itu harus 24 jam bekerja
melayani rakyat, karena itulah beban moral sangat berat dipikul oleh pemimpin dan
tidak abai. Secara sosial. Seorang pemimpin dimasyarakat sudah harus bisa
menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan yang ada dimasyarakat. mereka memiliki
kebutuhan ekonomi atau sandang, pangan dan papan harus bisa
dimaksimalkan,jangan sampai ada terdengar dimasyarakat yang kekurangan, akibat
tidak ada kesadaran untuk turun kelapangan melihat kondisi dimasyarakat. setiap
pemimpin harus sudah jelas kesadaran indrawinya, jangan sampai menjadi pemimpin
tetapi sangat rakus untuk menumpuk kekayaannya dan tidak punya send of shame
dengan masyarakat.
Kemudian
pemimpin yang sadar diri, dari sisi modal simbolik harus memiliki kecakapan
secara intelektual dengan memiliki sertikat kesarjanaan. Karena seorang
pemimpin tidak boleh bodoh didepan masyarakat, apabila ingin dipandang seorang
pemimpin yang punya nilai lebih. Salah satu fenomena sosial seorang pemimpin
hari ini banyak titel atau gelar kesarjanaan yang disandangnya tetapi cenderung
tidak mau mempraktekkan ilmunya saat membuat kebijakan-kebijakan dimasyarakat.
padahal dengan ilmu yang dimilikinya selalu berkaitan dalam memaksimalkan input
atau data yang presisi tentang apapun dimasyarakat, sehingga menjadi data A1
barulah di eksekusi oleh seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin tidak boleh
hanya mengandalkan emosional dalam mengambil sebuah keputusan, disitulah
seorang pemimpin yang tahu diri harus mempraktekkan logika, etika dan estetika.
Dengan kepintaran atau kecerdasan logika atau kognitif akan menjadi seorang
pemimpin yang cendekiawan, dengan etika akan terbangun sifat budiman dan
estetika akan menjadikan seorang pemimpin mempunyai jiwa seniman.
Tidak
seperti pemimpin yang tidak punya nilai-nilai intelektual atau miskin dalam
berbuat dengan mengedepankan respon public. akhirnya public akan memberikan
penilaian yang tidak proporsional dalam kinerja seorang pemimpin. Namun, perlu
dicatat bahwa seorang pemimpin yang tidak pintar secara intelektual akan
kerepotan dalam melihat problematika dimasyarakat. apalagi tidak memiliki
kecerdasan secara emosional, pastinya tidak akan mendengar keluhan masyarakat
dan tidak merasakan bagaimana kehidupan masyarakat sehari-hari. Yang jelas,
pemimpin yang tahu diri tidak hanya mempunyai kesadaran indrawi semata, tetapi
sekaligus kecerdasan intelektual yang empiris dan empirisme. Maksud kecerdasan
intelektual yang empiris dan empirisme yaitu tidak saja hanya melihat kondisi
masyarakat dengan angka-angka statistic atau kuantitatif, tetapi secara empiris
turun kemasyarakat mendalami langsung dengan observasi atau pengamatan mendalam
bagaimana kondisi rakyat secara riel atau nyata dalam kehidupan sosial
hari-hari.
Selanjutnya
kita bandingkan kepemimpinan hari ini, lebih dominan kekuasaan hari ini
terpusat ditangan segelintir elit saja. pemimpin dikelilingi oleh para sengkuni
politik dengan bisikan-bisikan yang terkadang tidak proporsional dan tidak
objektif. Apalagi pemimpin hari ini lebih kental dengan dinasti politiknya atau
primordialisme dalam menentukan kabinetnya. Sudah pasti akan dipertanyakan oleh
public dasar kompetensi dan kapabilitasnya. Seharusnya pemimpin yang memiliki
pengetahuan atau pernah memiliki tradisi intelektual saat dikampus
mengedepankan rekrutmen yang fair, objektif dan memiliki indicator dalam
menentukannya. Karena kalau hanya mengandalkan primordialisme dan isu putra
daerah yang dijadikan dasar dalam kabinetnya tentu saja akan menjadikan
perbincangan ditengah-tengah public, kesannya pasti ada yang pro dan kontra
dalam kebijakan tersebut.
Masyarakat
harus membangun fondasi kritik terhadap pemimpin yang tidak serius dalam
mengelola kekuasaan dengan benar. Apalagi menjadi pemimpin hanya untuk menumpuk
harta dan mempertahankan kekuasaan, dan tidak peduli dengan kehidupan masyarakat
yang dipimpinnya. Kedudukan seorang wakil rakyat juga akan dipertanyakan oleh public
untuk melakukan control terhadap kebijakan dari pada eksekutif. Yang harus
diperjuangkan oleh para wakil rakyat adalah demokrastisasi, sehingga rakyat
semakin berdaulat dalam ruang public.
jangan sampai pemimpin lebih memihak kepada kepentingan para kapitalis
dan menempel pada kekuasaan yang legitimit. Dampaknya akan membahayakan
kepemimpinannya dimasyarakat. disinilah peran civil society harus berperan
melakukan kritikan dengan mengingatkan pemimpin untuk jangan terbuai bujuk rayu
para kapitalis yang sangat memabukkan kekuasaan. Pemimpin mesti ditegur dan
diingatkan dengan mandat yang diberikan oleh masyarakat, dan selalu berpihak
pada masyarakat kecil. Control sosial lewat aksi penyadaran perlu dilakukan
oleh public atau kelompok masyarakat kepada pemimpin yang tidak sadar diri.
kemudian
yang sadar diri harus menyadari dengan benar posisinya sebagai Khalifah fi al-ard (wakil tuhan di muka
bumi) yang bertugas untuk memakmurkan bumi dengan memanfaatkan dan memelihara
alam untuk kepentingan seluruh mahluk. Tugas ini akan terlaksana dengan baik
apabila seorang pemimpin memiliki dasar kecerdasan secara spritualisme. Pada sisi
lain pemimpin harus menyadari dirinya sebagai hamba yang menuntutnya untuk
selalu tunduk dan patuh pada perintah Allah Swt. Pemimpin yang pintar secara
spiritual akan merasa sebagai wakil tuhan dan menjauhkan egosentrisme dalam
setiap memimpin. Apalagi dalam wujud di lapangan, tidak boleh pemimpin punya
pola pikir yang diskriminatif dan cenderung dendam terhadap kelompok masyarakat
yang selalu mengkritiknya. Harus disadari bahwa seorang pemimpin yang tahu diri
harus menjaga keseimbangan sosial dalam lingkungan alam, bukan merusaknya
karena kepentingan ekonomi sempit. Tampaknya komitmen pemimpin sering juga
terperangkap dalam system politik yang dibangun dalam politik yang serba
transaksional hari ini.
pentingnya
pemimpin tidak goyah akan kepentingan politik dan ekonomi yang sempit, akan
membuahkan hasil pemimpin yang merakyat dan kesalehan politik terbangun dalam
wujud nyata didalam tatanan sosial masyarakat. walaupun diskusi tentang
pemimpin yang tahu diri tidak pernah sampai pada kesimpulan final, tetapi tema
ini sangat menarik untuk dibincangkan sebagai referensi kepada pemimpin hari
ini untuk tetap bekerja lebih maksimal untuk rakyat. akhirnya pemimpin yang
tahu diri sampai pada kesimpulan, bahwa menjadi pemimpin amanah dan bertanggung
jawab ternyata cukup berat, karena gangguan kepentingan politik dan ekonomi
selalu menjadi variable penghambat dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.
terakhir
pemimpin yang tahu diri harus mempunyai kesadaran tauhid secara universal, dan
tidak dibelenggu oleh kepentingan kelompok dan keluarganya.pentingnya pemimpin
yang bertauhid menurut Tarigan (2007:50) harus membebaskan diri dari belenggu
tuhan yang banyak, karena ia dapat menghalangi manusia pada kebenaran. Kesadaran
tauhid atau unity dan universal membuat pemimpin yang sadar diri tidak lagi
membeda-bedakan rakyat yang dipimpinnya. Karena dalam qur’an juga dikatakan,
seorang pemimpin tidak boleh punya dasar kebencian kepada kelompok atau
golongan manapun, karena keadilan merupakan bagian dari taqwa juga. Tipologi terakhir
menurut Tarigan (2007: 71) ini dipertegas dalam Al-Qur’an dengan firman allah yang artinya, jika kamu ikuti kebanyakan manusia yang ada
dibumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah (QS Al-An’am:116).
Dari
uraian diatas tampak bahwa pemimpin yang sadar diri ternyata tidak hanya
kesadaran indrawi saja, tetapi kesadaran intelektual, kesadaran spiritual juga
kesadaran unity atau universal. Agar tidak belenggu oleh perangkap kepentingan
politik dan ekonomi yang sempit. Semoga.
No comments:
Post a Comment