Monday 22 August 2016

Pemimpin Yang Sadar Diri Oleh : Suyito, S.Sos, M.Si Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang





         
Pemimpin yang sadar diri tentu saja sosok pemimpin yang tidak lagi merasa kekurangan dalam hal apapun. Karena seorang pemimpin yang masih memikirkan sandang, pangan dan papan cenderung terjebak dalam kebutuhan psikologi. Karena menurut Abraham Maslow ada beberapa Motivasi dalam diri manusia, yaitu sandang, pangan, papan, keamanan dan aktualisasi diri. Sebagai seorang pemimpin jangan sampai terjebak hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar saja. karena justru tidak bisa bekerja dengan maksimal dan beradaftasi dimasyarakat. seorang pemimpin harus bisa memenuhi berbagai kebutuhan secara maxsimal masyarakat, sehingga rakyat bisa mengikuti apa kemauan pemimpinnya. Sehingga tugas pemimpin selanjutnya adalah membangun nilai-nilai atau norma dimasyarakat agar integrasi dan harmoni bisa terjadi.
          Pemimpin yang sadar diri tentu saja tidak didominasi kesadaran secara indrawi semata, kalau itu terjadi maka seperti uraian diparagraf diatas, tidak akan efektif dan berhasil dalam mensejahterakan masyarakat. kemudian menurut Hamka, kalau hidup hanya untuk makan dan minum, kawin, menjadi tua dan mati sama saja dengan binatang. Seorang pemimpin ditengah-tengah masyarakat harus sudah lepas dari belenggu kebutuhan indrawi. Sebab seorang pemimpin bukan pekerja yang memiliki waktu jam 8 masuk dan jam 5 pulang. Seorang pemimpin itu harus 24 jam bekerja melayani rakyat, karena itulah beban moral sangat berat dipikul oleh pemimpin dan tidak abai. Secara sosial. Seorang pemimpin dimasyarakat sudah harus bisa menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan yang ada dimasyarakat. mereka memiliki kebutuhan ekonomi atau sandang, pangan dan papan harus bisa dimaksimalkan,jangan sampai ada terdengar dimasyarakat yang kekurangan, akibat tidak ada kesadaran untuk turun kelapangan melihat kondisi dimasyarakat. setiap pemimpin harus sudah jelas kesadaran indrawinya, jangan sampai menjadi pemimpin tetapi sangat rakus untuk menumpuk kekayaannya dan tidak punya send of shame dengan masyarakat.
          Kemudian pemimpin yang sadar diri, dari sisi modal simbolik harus memiliki kecakapan secara intelektual dengan memiliki sertikat kesarjanaan. Karena seorang pemimpin tidak boleh bodoh didepan masyarakat, apabila ingin dipandang seorang pemimpin yang punya nilai lebih. Salah satu fenomena sosial seorang pemimpin hari ini banyak titel atau gelar kesarjanaan yang disandangnya tetapi cenderung tidak mau mempraktekkan ilmunya saat membuat kebijakan-kebijakan dimasyarakat. padahal dengan ilmu yang dimilikinya selalu berkaitan dalam memaksimalkan input atau data yang presisi tentang apapun dimasyarakat, sehingga menjadi data A1 barulah di eksekusi oleh seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin tidak boleh hanya mengandalkan emosional dalam mengambil sebuah keputusan, disitulah seorang pemimpin yang tahu diri harus mempraktekkan logika, etika dan estetika. Dengan kepintaran atau kecerdasan logika atau kognitif akan menjadi seorang pemimpin yang cendekiawan, dengan etika akan terbangun sifat budiman dan estetika akan menjadikan seorang pemimpin mempunyai jiwa seniman.
          Tidak seperti pemimpin yang tidak punya nilai-nilai intelektual atau miskin dalam berbuat dengan mengedepankan respon public. akhirnya public akan memberikan penilaian yang tidak proporsional dalam kinerja seorang pemimpin. Namun, perlu dicatat bahwa seorang pemimpin yang tidak pintar secara intelektual akan kerepotan dalam melihat problematika dimasyarakat. apalagi tidak memiliki kecerdasan secara emosional, pastinya tidak akan mendengar keluhan masyarakat dan tidak merasakan bagaimana kehidupan masyarakat sehari-hari. Yang jelas, pemimpin yang tahu diri tidak hanya mempunyai kesadaran indrawi semata, tetapi sekaligus kecerdasan intelektual yang empiris dan empirisme. Maksud kecerdasan intelektual yang empiris dan empirisme yaitu tidak saja hanya melihat kondisi masyarakat dengan angka-angka statistic atau kuantitatif, tetapi secara empiris turun kemasyarakat mendalami langsung dengan observasi atau pengamatan mendalam bagaimana kondisi rakyat secara riel atau nyata dalam kehidupan sosial hari-hari.
          Selanjutnya kita bandingkan kepemimpinan hari ini, lebih dominan kekuasaan hari ini terpusat ditangan segelintir elit saja. pemimpin dikelilingi oleh para sengkuni politik dengan bisikan-bisikan yang terkadang tidak proporsional dan tidak objektif. Apalagi pemimpin hari ini lebih kental dengan dinasti politiknya atau primordialisme dalam menentukan kabinetnya. Sudah pasti akan dipertanyakan oleh public dasar kompetensi dan kapabilitasnya. Seharusnya pemimpin yang memiliki pengetahuan atau pernah memiliki tradisi intelektual saat dikampus mengedepankan rekrutmen yang fair, objektif dan memiliki indicator dalam menentukannya. Karena kalau hanya mengandalkan primordialisme dan isu putra daerah yang dijadikan dasar dalam kabinetnya tentu saja akan menjadikan perbincangan ditengah-tengah public, kesannya pasti ada yang pro dan kontra dalam kebijakan tersebut.
          Masyarakat harus membangun fondasi kritik terhadap pemimpin yang tidak serius dalam mengelola kekuasaan dengan benar. Apalagi menjadi pemimpin hanya untuk menumpuk harta dan mempertahankan kekuasaan, dan tidak peduli dengan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Kedudukan seorang wakil rakyat juga akan dipertanyakan oleh public untuk melakukan control terhadap kebijakan dari pada eksekutif. Yang harus diperjuangkan oleh para wakil rakyat adalah demokrastisasi, sehingga rakyat semakin berdaulat dalam ruang public.  jangan sampai pemimpin lebih memihak kepada kepentingan para kapitalis dan menempel pada kekuasaan yang legitimit. Dampaknya akan membahayakan kepemimpinannya dimasyarakat. disinilah peran civil society harus berperan melakukan kritikan dengan mengingatkan pemimpin untuk jangan terbuai bujuk rayu para kapitalis yang sangat memabukkan kekuasaan. Pemimpin mesti ditegur dan diingatkan dengan mandat yang diberikan oleh masyarakat, dan selalu berpihak pada masyarakat kecil. Control sosial lewat aksi penyadaran perlu dilakukan oleh public atau kelompok masyarakat kepada pemimpin yang tidak sadar diri.
          kemudian yang sadar diri harus menyadari dengan benar posisinya sebagai Khalifah fi al-ard (wakil tuhan di muka bumi) yang bertugas untuk memakmurkan bumi dengan memanfaatkan dan memelihara alam untuk kepentingan seluruh mahluk. Tugas ini akan terlaksana dengan baik apabila seorang pemimpin memiliki dasar kecerdasan secara spritualisme. Pada sisi lain pemimpin harus menyadari dirinya sebagai hamba yang menuntutnya untuk selalu tunduk dan patuh pada perintah Allah Swt. Pemimpin yang pintar secara spiritual akan merasa sebagai wakil tuhan dan menjauhkan egosentrisme dalam setiap memimpin. Apalagi dalam wujud di lapangan, tidak boleh pemimpin punya pola pikir yang diskriminatif dan cenderung dendam terhadap kelompok masyarakat yang selalu mengkritiknya. Harus disadari bahwa seorang pemimpin yang tahu diri harus menjaga keseimbangan sosial dalam lingkungan alam, bukan merusaknya karena kepentingan ekonomi sempit. Tampaknya komitmen pemimpin sering juga terperangkap dalam system politik yang dibangun dalam politik yang serba transaksional hari ini.
          pentingnya pemimpin tidak goyah akan kepentingan politik dan ekonomi yang sempit, akan membuahkan hasil pemimpin yang merakyat dan kesalehan politik terbangun dalam wujud nyata didalam tatanan sosial masyarakat. walaupun diskusi tentang pemimpin yang tahu diri tidak pernah sampai pada kesimpulan final, tetapi tema ini sangat menarik untuk dibincangkan sebagai referensi kepada pemimpin hari ini untuk tetap bekerja lebih maksimal untuk rakyat. akhirnya pemimpin yang tahu diri sampai pada kesimpulan, bahwa menjadi pemimpin amanah dan bertanggung jawab ternyata cukup berat, karena gangguan kepentingan politik dan ekonomi selalu menjadi variable penghambat dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.
          terakhir pemimpin yang tahu diri harus mempunyai kesadaran tauhid secara universal, dan tidak dibelenggu oleh kepentingan kelompok dan keluarganya.pentingnya pemimpin yang bertauhid menurut Tarigan (2007:50) harus membebaskan diri dari belenggu tuhan yang banyak, karena ia dapat menghalangi manusia pada kebenaran. Kesadaran tauhid atau unity dan universal membuat pemimpin yang sadar diri tidak lagi membeda-bedakan rakyat yang dipimpinnya. Karena dalam qur’an juga dikatakan, seorang pemimpin tidak boleh punya dasar kebencian kepada kelompok atau golongan manapun, karena keadilan merupakan bagian dari taqwa juga. Tipologi terakhir menurut Tarigan (2007: 71) ini dipertegas dalam Al-Qur’an dengan  firman allah yang artinya, jika kamu ikuti kebanyakan manusia yang ada dibumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah (QS Al-An’am:116).
          Dari uraian diatas tampak bahwa pemimpin yang sadar diri ternyata tidak hanya kesadaran indrawi saja, tetapi kesadaran intelektual, kesadaran spiritual juga kesadaran unity atau universal. Agar tidak belenggu oleh perangkap kepentingan politik dan ekonomi yang sempit. Semoga.

No comments:

Post a Comment