Monday 29 August 2016

NASIONALISME PADA GENERASI MUDA PERBATASAN OLEH : SUYITO, S.Sos, M.Si, Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang

      Nasionalisme menurut Kohn (1961:11) adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. kemudian dalam jurnal Negarawan (Wildan,2008 :141) juga mengatakan bahwa nasionalisme merupakan refleksi perjuangan dari segenap komponen bangsa. tidak perduli dari suku mana ia berasal, bahasa apa yang digunakan, dan agama apa yang dipeluknya, semuanya ingin bersatu dalam wadah sebuah bangsa.
        sementara itu menurut August Comte,generasi adalah jangka waktu kehidupan sosial manusia yang didasarkan pada dorongan keterikatan pada pokok-pokok pikiran yang asasi. sementara itu generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang akan meneruskan cita-cita dan pelopor bangsa ini. kemudian menurut Ibnu Khaldun ada tipologi generasi yaitu generasi pendiri, generasi pembangun dan generasi penikmat. generasi pendiri bisa kita letakkan pada presiden yang pertama kita yaitu Soekarno dan Hatta, dan Generasi Pembangun bisa kita letakkan pada era orde baru yaitu saat presiden Soeharto berkuasa. sementara itu generasi penikmat hari ini adalah semua komponen dan elemen bangsa yang tetap komitmen untuk menjaga dan menikmati tetap kokohnya bangsa ini dalam membangun. jangan sampai muncul generasi selanjutnya yaitu generasi perusak, yang mencoba mengadu domba bangsa ini dengan memunculkan isu sara dan kelompok tertentu. sehingga menyebabkan habis energi bangsa ini hanya untuk menyelesaikan persoalan tidak dewasanya masyarakat dalam kehidupan yang serba multikulturalisme saat ini. 

 a. Peran Pemimpin di Daerah Perbatasan

           Peran pemimpin didaerah perbatasan harus mampu menggerakkan para pemuda, dengan menciptakan sistem yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat diperbatasan. pemimpin didaerah harus mempunyai etos dan spirit kebangsaan dalam masyarakat. pemimpin di daerah perbatasan harus mampu beradaftasi dengan kebutuhan masyarakat perbatasan, terutama pemudanya. karena generasi pemuda harus diberikan nilai-nilai dasar ideologis pancasila, agar tidak menjadi pemuda yang tidak salah arah dalam memandang perjalanan bangsa ini. nilai-nilai pancasila sebagai welstancaung atau pandangan hidup sebuah bangsa harus dijadikan dasar dan dipikul oleh semua pemimpin di daerah dimanapun. nilai tersebut harus dilembagakan dalam setiap membuat kebijakan pembangunan yang tidak metanaratif, tetapi harus tetap lokal naratif dijadikan pedoman untuk membangun nilai dasar pembangunan dimasyarakat. agar menjadi darah daging  atau terinternalisasi dalam setiap pemuda diperbatasan.
               kemudian secara ekonomi kebutuhan masyarakat juga harus terpenuhi dengan produktivitas dan akses yang tidak terhambat oleh birokrat. karena tugas pemimpin diperbatasan adalah melakukan empowering atau pemberdayaan pemuda dimasyarakat. karena hakikat pemberdayaan adalah agar masyarakat keluar dari belenggu kemiskinan secara struktural dan kultural. jangan sampai pemimpin lupa dengan mandat yang telah diberikan oleh rakyat untuk melaksanakan tanggungjawab dalam mensejahterakan masyarakat. oleh karena itu tugas pemimpin dalam memompa semangat nasionalisme tidak akan 

          

Saturday 27 August 2016

POSTSTRUKTURALISME KEKUASAAN EKONOMI DAN POLITIK DI MASYARAKAT KEPULAUAN OLEH: SUYITO, S.SOS, M.SI, Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang




          Dalam analisis poststrukturalisme tentang kekuasaan ekonomi dan politik di kepulauan ternyata masih kuatnya relasi kuasa oleh kekuasaan yang tersembunyi (hidden power) dan kekuasaan yang tidak kelihatan (invisible power). Seperti yang dicetuskan oleh Gaventa dalam teori kubus kekuasaan. Menurut Gaventa dalam Halim (2014:61) menjelaskan kekuasaan tersembunyi merupakan kekuatan yang digunakan untuk kepentingan pribadi, kekuasaan ini muncul dalam rangka untuk mempertahankan kekuasaan dan privilege dari kepentingan-kepentingan. Untuk mempertahankan kepentingan maka diciptakanlah halangan-halangan dan gangguan-gangguan yang bisa membendung partisipasi kritis rakyat. sementara itu kekuasaan yang tidak kelihatan, pada prinsipnya adalah kelanjutan dari kekuasaan tersembunyi, hanya saja keduanya memiliki sisi perbedaan. Didalam kendali kekuasaan tersembunyi, masyarakat kehilangan kesadaran karena terbius oleh nilai-nilai dan ideology penguasa. Dari uraian diatas bisa kita lihat secara realistis ternyata hidden power dan invisible power sangat besar dalam menentukan kepentingan ekonomi dan politik.
          Filsafat politik tradisional menurut michelt Foucault selalu berorientasi pada legitimasi. padahal kekuasaan bukanlah sesuatu yang dikuasai oleh negara dan selalu bisa diukur. Kekuasaan ada di mana-mana, karena kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. Ujung-ujungnya para penguasa terpilih pasti punya kekuasaan dan mampu mengendalikan public, bahkan memaksa untuk supaya tertib atau consensus. Relasi kekuasaan dalam mengkolonisasi public dalam kekuasaan tersembunyi dan tidak terlihat menciderai proses demokrasi dan transparansi dalam informasi kepada public. karena kekuasaan pemimpin dalam menjajah pemikiran public dengan ide dan gagasan yang dituangkan dalam visi dan misi semakin menyihir kesadaran masyarakat untuk semakin kritis terhadap tata kelola pemerintahan.
          Akibat dari semakin kuatnya kepentingan politik dan ekonomi seorang pemimpin, public tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dengan baik dan benar. Apalagi legitimasi semakin power full dari public dalam mendukung kekuasaan, secara serta merta pengetahuan pemimpin akhirnya mengkolonisasi public untuk bisa menerima setiap argumentasi dan retorikan seorang penguasa. Padahal dibalik itu sebenarnya sedang ada transaksional politik antara penguasa dengan para elit ekonomi dan juga elit politik.
          Relasi pengetahuan dan kekuasaan ternyata memang memainkan pola strategis dalam mengelabui masyarakat untuk semakin percaya dalam proses pemerintahan yang legitimit. Apalagi dalam menganalisis adanya kekuasaan yang tersembunyi dalam pengetahuan. Dan ini sengaja dibiarkan terjadi dalam wilayah public, masyarakat semakin dibodohi dalam jargon penguasa dan elit politik. Tetapi itulah ironi demokrasi yang semakin tidak mencerdaskan public, bahkan kekuasaan yang tersembunyi dikendalikan oleh kerabatisme untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi kepentingan pribadi penguasa. Yang paling unik terjadi dalam masyarakat modern hari ini ialah hubungan pengetahuan modern dengan kekuasaan telah melahirkan bentuk dominasi baru yaitu subjection atau penghambaan masyarakat kepada pemimpin, sehingga apa yang dijalankan oleh penguasa semuanya betul dan tidak boleh dikritik. Masyarakat harus terus diberikan motivasi untuk selalu kritis terhadap pemimpin yang tidak menjalankan mandat rakyat, sehingga demokrasi secara esensial bisa memberikan efek positif terhadap masyarakat.
          Poststrukturalisme dalam kekuasaan ekonomi didaerah telah memberikan kesempatan pada kekuasaan yang tersembunyi dalam hal bagi-bagi proyek di dalam lingkaran kelompoknya. Semuanya dikendalikan oleh orang-orang terdekat penguasa yang sudah mendapatkan wejangan politik dari penguasa. Sehingga variable kekuasaan ekonomi tidak bisa dilepas kepada public untuk dikuasai. Walaupun dalam praktik di ranah front stage atau panggung depan selalu memainkan dramaturgi politik untuk memberikan keyakinan kepada public untuk transparan dan tidak diskriminatif. Itu penyebab dari pada miskinnya masyarakat dalam pengetahuan tentang kepentingan ekonomi yang dimainkan oleh penguasa untuk memperkuat modal politiknya. Akhirnya kekuasaan tentang kepentingan ekonomi dikuasai oleh penguasa akibat tidak transparan dalam hal informasi tersebut.
          Dalam analisis selanjutnya relasi pengetahuan dan kekuasaan juga mengkolonisasi pemikiran masyarakat atau public untuk selalu fair dan objektif dalam hal menentukan eselon dua atau kepala dinas di pemerintahan.  Diskursus tentang mengedepankan objektif dan kompetensi selalu membius public untuk semakin dikuasainya panggung politik oleh penguasa, sehingga masyarakat memberikan kepercayaan penuh kepada pemimpin. Akibat pengetahuan public tentang mekanisme penentuan pemilihan pejabat dilingkaran kekuasaan tidak dibuka secara fair dan objektif, menyebabkan semakin dimanipulasi kesadaran pengetahuan masyarakat oleh penguasa. Tetapi apabila public semakin berpengetahuan dan cerdas tentang pemilihan calon pejabat dilingkaran pemerintahan, tentu saja tidak akan menerima begitu saja hasil pemilihan itu dari seorang pemimpin.
          Postkolonialisme tentang kekuasaan politik dan ekonomi memang harusnya masyarakat atau public harus tahu dan jangan mau dijajah oleh informasi apalagi diskursus tentang pemimpin yang fair dan objektif. Apalagi kepentingan ekonomi dan politik yang sangat transaksional dalam front stage atau panggung depan membuat masyarakat harus lebih kritis lagi terhadap tata kelola pemerintahan yang baik dalam jargon strukturalisme. Masyarakat sudah seharusnya cerdas dan pengalaman terhadap wajah penguasa yang selalu menipu masyarakat dengan suguhan-suguhan yang membius. Relasi pengetahuan dan kekuasaan selalu beriringan dalam setiap momentum kebijakan dengan balutan diskursus tentang mengatasnamakan masyarakat. padahal dalam sepak terjangnya siapa saja yang punya pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu hal, maka otomatis akan menguasai dalam kehidupan sosial.
          Oleh karena itulah pendidikan masyarakat sangat penting diberikan, agar tidak awam lagi tentang motif perilaku kebijakan pemerintah yang terkadang justu memihak kepada kepentingan segelintir elit ekonomi. Masyarakat yang terdidik akan menolak setiap hal yang akan merugikan kepentingan public. tetapi terkadang miris juga terjadi, apabila ada seorang terdidik yang paham tentang kebijakan ekonomi dan politik yang dibuat yang akan merugikan masyarakat tetapi diam saja. ini tidak bagus dalam kehidupan sosial, karena tidak akan memberikan pembelajaran kepada public.
          Oleh karena itulah analisis poststrukturalisme dalam kepentingan ekonomi dan politik harusnnya menyadarkan public akan bahayanya relasi pengetahuan dengan kekuasaan. Sebab semakin mandulnya kritikan public terhadap penguasa, maka semakin dikuasainya public dengan dominasi pengetahuan terhadap rakyat dengan kekuasaan angka-angka keberhasilan dalam pembangunan.

Tuesday 23 August 2016

Fenomena Jual Beli Suara dalam Demokrasi electoral Oleh : Suyito, S.Sos. M.Si Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang.





          Fenomena jual beli suara dalam demokrasi electoral di pilkada serentak memang sangat politis sifatnya. Setelah melewati pilkada serentak kemaren fenomena jual beli suara atau politik uang menjadi variable dominan dalam kontestasi demokrasi electoral. Menurut Luki Jani dalam peran uang dalam demokrasi electoral (2014:106) mengatakan politik uang atau jual beli suara dapat menjadi  batu sandungan bagi proses demokratisasi Indonesia, dan transaksi jual beli suara politikus dan pemilih merupakan pengeluaran politik yang sulit dihindarkan. Menurut Komarudin Hidayat (pramono:296)  yang perlu dicermati dan dikritisi adalah motivasi seseorang menjadi kepala daerah dan  legislator dengan mengantongi motif dan kalkulasi keuntungan ekonomi. Kemudian dalam desertasi Pramono anung (2014) mahalnya biaya politik merupakan salah satu bentuk penyimpangan atas demokrasi karena demokrasi cenderung dikonotasikan dengan uang. Ini merupakan pemahaman demokrasi yang tidak on the track, sehingga penataan ulang demokrasi menjadi penting dilakukan.
          Dengan mahalnya biaya politik uang, akhirnya politik uang atau jual beli suara menjadi variable determinan dalam demokrasi kita, seperti juga pendapat J. Kristiadi dalam Desertasi Pramono Anung (2014) mengatakan bagaimana kita mampu menggeser variable politik uang tidak menjadi variable determinan dalam demokrasi kita, khususnya dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislator. Tetapi kondisi riel dimasyarakat terjadi korupsi pemilu akan membuat rapuh dalam proses legitimasi seorang penguasa, seperti yang diutarakan Jani dalam merancang arah baru demokrasi (2014) korupsi pemilu terutama jual beli suara atau politik uang akan menurunkan legitimasi pemerintahan.
          Kemudian dalam Teori system Parson dengan adaptif, goal, integrasi dan laten maintenance. Memberikan analisa bahwa fenomena jual beli suara atau politik uang dalam pilkada serentak kemaren jangan menjadikan sebuah kebiasaan dimasyarakat, karena justru akan membuat budaya politik dimasyarakat tidak sehat dan cenderung lebih pragmatis. Calon kepala daerah dan calon legislator seharusnya membangun system politik yang sehat dan kuat dimasyarakat, tetapi justru terbalik kondisinya dimasyarakat semakin maraknya jual beli suara dalam masyarakat. sehingga setelah terpilih menjadi kepala daerah dan legislator justru akan mengurangi legitimasi dalam demokrasi electoral. Karena tujuan dalam demokrasi electoral adalah memberikan dominasi masyarakat untuk menentukan pemimpin dan wakilnya. Tentu saja kedaulatan rakyat harus menjadi variable utama dalam pilkada serentak tersebut. Tetapi kalau fenomena jual beli suara semakin marak justru kedaulatan masyarakat dalam demokrasi terciderai juga oleh calon penguasa yang persepsinya selalu uang dalam menentukan kemenangannya.
          Integrasi atau pembauran calon penguasa atau kepala daerah dan calon legislator kepada masyarakat akhirnya hanya dibangun dengan hubungan politik uang, setelah terpilih kemudian akan meninggalkan masyarakat. ini merupakan preseden politik yang kurang sehat dan tidak mendidik masyarakat. apalagi menjadi sebuah pola atau bentuk dalam setiap pilkada serentak dilakukan.
          Kemudian kalau dianalisa dalam Sistem sosial dan system budaya, setidaknya seorang pemimpin politik harus bisa mendidik para kader politik untuk mengharamkan jual beli suara atau politik uang, karena justru akan membuat kehilangan kepercayaan public terhadap partai politik. Kita juga harus realistic partai politik harus bisa meningkatkan profesionalitas para kadernya. Tetapi kalau calon kepala daereah justru tidak memberikan larangan untuk jual beli suara dalam pilkada kemaren, akhirnya system sosial masyarakat terganggu akibat tidak ada keteladanan seorang calon pemimpin dan calon legislator dalam pilkada serentak. Dalam system budaya justru fenomena jual beli suara atau politik uang akan mensosialisasi nilai-nilai politik yang melanggar etika politik dan buruknya pembelajaran politik untuk masyarakat. akibatnya nilai-nilai poltik uang menjadi pelembagaan yang menunjukkan kualitas demokrasi yang tidak sehat. Internalisasi politik uang menjadikan masyarakat semakin pragmatis dalam setiap momentum pilkada dilakukan.
          Dalam analisa dramaturgi politik, jual beli suara atau politik uang akan memberikan citra buruk terhadap calon kepala daerah dan legislator pada panggung depan dimasyarakat. karena masyarakat hanya dikendalikan dalam cerminan sosial interaksi sosial politik yang serba pragmatis. Dengan realitas fenomena politik uang yang semakin marak dalam pilkada serentak, mestinya harus diatasi dengan membangun system yang mampu kompetisi politik lebih adil, dana partai politik transparan, akuntabel dan ada sanksi yang jelas bagi siapapun yang melakukan pelanggaran dalam pilkada serentak.

Monday 22 August 2016

Pemimpin Yang Sadar Diri Oleh : Suyito, S.Sos, M.Si Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang





         
Pemimpin yang sadar diri tentu saja sosok pemimpin yang tidak lagi merasa kekurangan dalam hal apapun. Karena seorang pemimpin yang masih memikirkan sandang, pangan dan papan cenderung terjebak dalam kebutuhan psikologi. Karena menurut Abraham Maslow ada beberapa Motivasi dalam diri manusia, yaitu sandang, pangan, papan, keamanan dan aktualisasi diri. Sebagai seorang pemimpin jangan sampai terjebak hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar saja. karena justru tidak bisa bekerja dengan maksimal dan beradaftasi dimasyarakat. seorang pemimpin harus bisa memenuhi berbagai kebutuhan secara maxsimal masyarakat, sehingga rakyat bisa mengikuti apa kemauan pemimpinnya. Sehingga tugas pemimpin selanjutnya adalah membangun nilai-nilai atau norma dimasyarakat agar integrasi dan harmoni bisa terjadi.
          Pemimpin yang sadar diri tentu saja tidak didominasi kesadaran secara indrawi semata, kalau itu terjadi maka seperti uraian diparagraf diatas, tidak akan efektif dan berhasil dalam mensejahterakan masyarakat. kemudian menurut Hamka, kalau hidup hanya untuk makan dan minum, kawin, menjadi tua dan mati sama saja dengan binatang. Seorang pemimpin ditengah-tengah masyarakat harus sudah lepas dari belenggu kebutuhan indrawi. Sebab seorang pemimpin bukan pekerja yang memiliki waktu jam 8 masuk dan jam 5 pulang. Seorang pemimpin itu harus 24 jam bekerja melayani rakyat, karena itulah beban moral sangat berat dipikul oleh pemimpin dan tidak abai. Secara sosial. Seorang pemimpin dimasyarakat sudah harus bisa menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan yang ada dimasyarakat. mereka memiliki kebutuhan ekonomi atau sandang, pangan dan papan harus bisa dimaksimalkan,jangan sampai ada terdengar dimasyarakat yang kekurangan, akibat tidak ada kesadaran untuk turun kelapangan melihat kondisi dimasyarakat. setiap pemimpin harus sudah jelas kesadaran indrawinya, jangan sampai menjadi pemimpin tetapi sangat rakus untuk menumpuk kekayaannya dan tidak punya send of shame dengan masyarakat.
          Kemudian pemimpin yang sadar diri, dari sisi modal simbolik harus memiliki kecakapan secara intelektual dengan memiliki sertikat kesarjanaan. Karena seorang pemimpin tidak boleh bodoh didepan masyarakat, apabila ingin dipandang seorang pemimpin yang punya nilai lebih. Salah satu fenomena sosial seorang pemimpin hari ini banyak titel atau gelar kesarjanaan yang disandangnya tetapi cenderung tidak mau mempraktekkan ilmunya saat membuat kebijakan-kebijakan dimasyarakat. padahal dengan ilmu yang dimilikinya selalu berkaitan dalam memaksimalkan input atau data yang presisi tentang apapun dimasyarakat, sehingga menjadi data A1 barulah di eksekusi oleh seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin tidak boleh hanya mengandalkan emosional dalam mengambil sebuah keputusan, disitulah seorang pemimpin yang tahu diri harus mempraktekkan logika, etika dan estetika. Dengan kepintaran atau kecerdasan logika atau kognitif akan menjadi seorang pemimpin yang cendekiawan, dengan etika akan terbangun sifat budiman dan estetika akan menjadikan seorang pemimpin mempunyai jiwa seniman.
          Tidak seperti pemimpin yang tidak punya nilai-nilai intelektual atau miskin dalam berbuat dengan mengedepankan respon public. akhirnya public akan memberikan penilaian yang tidak proporsional dalam kinerja seorang pemimpin. Namun, perlu dicatat bahwa seorang pemimpin yang tidak pintar secara intelektual akan kerepotan dalam melihat problematika dimasyarakat. apalagi tidak memiliki kecerdasan secara emosional, pastinya tidak akan mendengar keluhan masyarakat dan tidak merasakan bagaimana kehidupan masyarakat sehari-hari. Yang jelas, pemimpin yang tahu diri tidak hanya mempunyai kesadaran indrawi semata, tetapi sekaligus kecerdasan intelektual yang empiris dan empirisme. Maksud kecerdasan intelektual yang empiris dan empirisme yaitu tidak saja hanya melihat kondisi masyarakat dengan angka-angka statistic atau kuantitatif, tetapi secara empiris turun kemasyarakat mendalami langsung dengan observasi atau pengamatan mendalam bagaimana kondisi rakyat secara riel atau nyata dalam kehidupan sosial hari-hari.
          Selanjutnya kita bandingkan kepemimpinan hari ini, lebih dominan kekuasaan hari ini terpusat ditangan segelintir elit saja. pemimpin dikelilingi oleh para sengkuni politik dengan bisikan-bisikan yang terkadang tidak proporsional dan tidak objektif. Apalagi pemimpin hari ini lebih kental dengan dinasti politiknya atau primordialisme dalam menentukan kabinetnya. Sudah pasti akan dipertanyakan oleh public dasar kompetensi dan kapabilitasnya. Seharusnya pemimpin yang memiliki pengetahuan atau pernah memiliki tradisi intelektual saat dikampus mengedepankan rekrutmen yang fair, objektif dan memiliki indicator dalam menentukannya. Karena kalau hanya mengandalkan primordialisme dan isu putra daerah yang dijadikan dasar dalam kabinetnya tentu saja akan menjadikan perbincangan ditengah-tengah public, kesannya pasti ada yang pro dan kontra dalam kebijakan tersebut.
          Masyarakat harus membangun fondasi kritik terhadap pemimpin yang tidak serius dalam mengelola kekuasaan dengan benar. Apalagi menjadi pemimpin hanya untuk menumpuk harta dan mempertahankan kekuasaan, dan tidak peduli dengan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Kedudukan seorang wakil rakyat juga akan dipertanyakan oleh public untuk melakukan control terhadap kebijakan dari pada eksekutif. Yang harus diperjuangkan oleh para wakil rakyat adalah demokrastisasi, sehingga rakyat semakin berdaulat dalam ruang public.  jangan sampai pemimpin lebih memihak kepada kepentingan para kapitalis dan menempel pada kekuasaan yang legitimit. Dampaknya akan membahayakan kepemimpinannya dimasyarakat. disinilah peran civil society harus berperan melakukan kritikan dengan mengingatkan pemimpin untuk jangan terbuai bujuk rayu para kapitalis yang sangat memabukkan kekuasaan. Pemimpin mesti ditegur dan diingatkan dengan mandat yang diberikan oleh masyarakat, dan selalu berpihak pada masyarakat kecil. Control sosial lewat aksi penyadaran perlu dilakukan oleh public atau kelompok masyarakat kepada pemimpin yang tidak sadar diri.
          kemudian yang sadar diri harus menyadari dengan benar posisinya sebagai Khalifah fi al-ard (wakil tuhan di muka bumi) yang bertugas untuk memakmurkan bumi dengan memanfaatkan dan memelihara alam untuk kepentingan seluruh mahluk. Tugas ini akan terlaksana dengan baik apabila seorang pemimpin memiliki dasar kecerdasan secara spritualisme. Pada sisi lain pemimpin harus menyadari dirinya sebagai hamba yang menuntutnya untuk selalu tunduk dan patuh pada perintah Allah Swt. Pemimpin yang pintar secara spiritual akan merasa sebagai wakil tuhan dan menjauhkan egosentrisme dalam setiap memimpin. Apalagi dalam wujud di lapangan, tidak boleh pemimpin punya pola pikir yang diskriminatif dan cenderung dendam terhadap kelompok masyarakat yang selalu mengkritiknya. Harus disadari bahwa seorang pemimpin yang tahu diri harus menjaga keseimbangan sosial dalam lingkungan alam, bukan merusaknya karena kepentingan ekonomi sempit. Tampaknya komitmen pemimpin sering juga terperangkap dalam system politik yang dibangun dalam politik yang serba transaksional hari ini.
          pentingnya pemimpin tidak goyah akan kepentingan politik dan ekonomi yang sempit, akan membuahkan hasil pemimpin yang merakyat dan kesalehan politik terbangun dalam wujud nyata didalam tatanan sosial masyarakat. walaupun diskusi tentang pemimpin yang tahu diri tidak pernah sampai pada kesimpulan final, tetapi tema ini sangat menarik untuk dibincangkan sebagai referensi kepada pemimpin hari ini untuk tetap bekerja lebih maksimal untuk rakyat. akhirnya pemimpin yang tahu diri sampai pada kesimpulan, bahwa menjadi pemimpin amanah dan bertanggung jawab ternyata cukup berat, karena gangguan kepentingan politik dan ekonomi selalu menjadi variable penghambat dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.
          terakhir pemimpin yang tahu diri harus mempunyai kesadaran tauhid secara universal, dan tidak dibelenggu oleh kepentingan kelompok dan keluarganya.pentingnya pemimpin yang bertauhid menurut Tarigan (2007:50) harus membebaskan diri dari belenggu tuhan yang banyak, karena ia dapat menghalangi manusia pada kebenaran. Kesadaran tauhid atau unity dan universal membuat pemimpin yang sadar diri tidak lagi membeda-bedakan rakyat yang dipimpinnya. Karena dalam qur’an juga dikatakan, seorang pemimpin tidak boleh punya dasar kebencian kepada kelompok atau golongan manapun, karena keadilan merupakan bagian dari taqwa juga. Tipologi terakhir menurut Tarigan (2007: 71) ini dipertegas dalam Al-Qur’an dengan  firman allah yang artinya, jika kamu ikuti kebanyakan manusia yang ada dibumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah (QS Al-An’am:116).
          Dari uraian diatas tampak bahwa pemimpin yang sadar diri ternyata tidak hanya kesadaran indrawi saja, tetapi kesadaran intelektual, kesadaran spiritual juga kesadaran unity atau universal. Agar tidak belenggu oleh perangkap kepentingan politik dan ekonomi yang sempit. Semoga.

Sunday 21 August 2016

PEMIMPIN YANG TAHU DIRI Oleh : Suyito, S.Sos, M.Si Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang & Presidium Visi Merah Putih Pusat.



Menjadi seorang pemimpin merupakan impian dari semua orang, karena menjadi pemimpin akan memberikan berkah sekaligus musibah juga pada kepemimpinannya. Karena kalau tidak amanah dalam kepemimpinannya tentu saja akan mendapat respon negative dari masyarakat. tetapi jika menjadi pemimpin di daerah selalu responsive  terhadap masalah-masalah yang ada dimasyarakat dan mampu memberikan solusi yang cerdas dan tepat, maka pemimpin seperti itu pasti akan membawa berkah kepada masyarakat. pemimpin yang tahu diri adalah pemimpin yang tidak hanya mengandalkan jabatan semata, tetapi mampu menjalankan rule atau peran secara bertanggungjawab. Menjadi pemimpin yang merakyat adalah dambaan masyarakat di daerah. Apalagi pemimpin yang sering turun ke rakyat dan tidak jauh dari masyarakat. tetapi lain halnya, apabila pemimpin yang berpikirnya secara strukturalis. Pemimpin seperti itu akan selalu formal dan kaku saat turun kelapangan masyarakat.
          Pemimpin yang tahu diri akan mampu beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat. seperti dalam bidang ekonomi harus tersedia semua kebutuhan pokok dan harga terjangkau. Pemerintah harus selalu hadir dalam wujud keberadaannya memberikan pelayanan dalam pembangunan ekonomi dimasyarakat. karena secara teoritis structural fungsional pemimpin yang mendapat mandat dari masyarakat tidak selesai begitu saja. tetapi masih ada beban moral yang harus dibuat oleh pemimpin dalam melayani semua bidang pembangunan dimasyarakat. pemimpin harus selalu hadir atau presensi ditengah-tengah masyarakat dan mampu menderita dengan masyarakat. sebab kalau pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan semata dan sangat strukturalis atau pemuja kekuasaan sering kali tidak bisa beradaftasi dengan kebutuhan dimasyarakat. tetapi pemimpin seperti ini justru sering kali abai dengan kepentingan masyarakat. karena sering kali pemimpin melakukan kawin kepentingan dengan para elit ekonomi untuk memperkuat modal politiknya saat sudah dekat dengan suksesi kepemimpinan dalam demokrasi electoral.
          Pemimpin yang tahu diri harus sering tampil dan hadir dimasyarakat bukan pencitraan, karena image citra hanya akan melahirkan sampah politik pencitraan. Tetapi yang lebih penting adalah berbuat dan melakukan perubahan sosial yang nyata ditengah-tengah masyarakat. tidak saja membanggakan seragam yang dipakai dengan jengkol dibajunya, tetapi punya terobosan dalam hal kemandirian membangun masyarakat dan jauh dari kesan hanya menghabiskan anggaran semata. Apalagi hanya pandainya mengeluh di media massa, tetapi miskin berbuat. Itulah wajah pemimpin yang tidak tahu diri dan tidak bertanggungjawab dalam kepemimpinannya. Sebab masyarakat memilihnya menjadi seorang  pemimpin, harus disadarinya  untuk bisa berbuat lebih maksimal lagi, bukan mengeluh kepada public. tentu saja masyarakat akan memberikan penilaian pemimpin yang tidak tahu diri dan tidak cakap dalam memimpin.
          Pemimpin yang tahu diri dalam menjalankan perannya sebagai pelayan dimasyarakat seharusnya mampu membangun perubahan persepsi dimasyarakat. karena selama ini pemimpin itu selalu minta dilayani atau pangreh. Sehingga kesan negative terhadap pemimpin seperti itu sepertinya sudah menjadi realitas sosial yang objektif alias tradisi siapa yang berkuasa. Seharusnya pemimpin itu menjadi pamong terhadap public. shifting paradigm pemimpin harus digeser menjadi pemimpin yang merakyat dan tidak cenderung politik pencitraan. Karena pemimpin yang andalkan citra hanya akan menipu masyarakat dan menjadi sampah politik pencitraan. Apalagi pemimpin yang hanya mengandalkan kekuasaan sebagai strategi untuk menindas lawan politiknya. Kemudian disupport oleh para ilmuwan yang menjadi penasehatnya, dan memberikan legitimasi terhadap apa yang disampaikan oleh pemimpin, sehingga dominasi pemimpin semakin powerfull dalam mengendalikan rakyatnya.
          Pemimpin strukturalis selalu saja di kerangkeng oleh dominasi dan hegemoni aturan yang membatasinya untuk dekat kepada masyarakat. apalagi jenjang birokrasi yang sangat berbelit-belit menjadi symbol dan cerminan sosial yang mengendalikan interaksi sosial dan politik masyarakat dengan pemimpin. Pemimpin strukturalis juga sering melipatgandakan kekuasaannya untuk bisa ofensif terhadap setiap oposisi di lingkungan kekuasaannya. Kekuasaan memang membuat seorang pemimpin selalu terpesona dan bahkan tergila-gila untuk tetap mempertahankan dengan segala cara. Sehingga pemimpin yang tahu diri yang diharapkan oleh masyarakat selalu kandas dalam bayang-bayang kekuasaan yang mengkolonisasi seorang pemimpin.
          Pemimpin yang terjebak dengan kekuasaan yang sempit, selalu memaknai hanya milik pemerintah dan institusi semata. Padahal dalam good governance atau tata kelola pemerintahan harus selalu melibatkan stakeholder yang lain sebagai bentuk tanggungjawab bersama untuk tujuan mensejahterakan masyarakat dan controlling. Pemimpin yang terjebak dalam kekuasaan seperti itu selalu cenderung kurang mau di evaluasi oleh bawahannya, padahal pemimpin juga sebagai manusia yang juga sering salah dalam mengambil setiap keputusan.
          Oleh karena itulah kita butuh Pemimpin yang tahu diri dan  bisa menekankan praktik-praktik kekuasaannya sebagai sebuah kebenaran yang objektif dan mampu secara realistis dirasakan oleh masyarakat. tidak lagi bermain dalam panggung dramaturgi yang diolah dalam frons stage politik kekuasaan. Tetapi kekuasaan yang dijalankan oleh seorang pemimpin harus menjadi sebuah kebenaran dalam semua bidang kehidupan di masyarakat.
          Sehingga dalam hal seperti inilah pemimpin yang tahu diri tidak lagi mempersempit ruang kekuasaan pada institusi semata. Tetapi juga berusaha membangun kebersamaan dengan masyarakat didaerah untuk tumbuh dan berkembang secara kuat. Karena seorang pemimpin itu menjadi seorang Leader yang harus mampu menggerakkan dengan motivasi bawahannya dan masyarakat untuk produktif walaupun dalam kondisi deficit sekalipun.
          Kemudian  seorang pemimpin jangan terjebak lagi dengan kuasa yang cenderung intimidatif dan refresif dalam menjalankan otoritas. Karena sudah tidak zamannya lagi pemimpin itu anti kritik oleh rakyatnya. Tetapi bagaimana seorang pemimpin itu melakukan normalisasi dalam kekuasaannya dengan rakyatnya. Sehingga dengan kekuasaan seorang pemimpin berusaha mendidik dirinya dan bawahannya dan juga masyarakat dalam koridor aturannya dan konsekwen. Sehingga akan muncul dedikasi dan disiplin dari seorang pemimpin dan rakyatnya untuk lebih produktif lagi.