Demokrasi
patronase sangat berkait berkelindan dengan relasi-relasi sosial yang ada dan
yang terus bisa dipertahankan. Ini jelas bukan sejenis fakta elite yang rapuh.
Tapi inilah persekutuan partikularistik, yang cenderung mengeklusikan mereka
yang tak punya hubungan-hubungan koneksi seperti kelompok-kelompok minoritas
non-bisnis, non-lokal, atau kaum melarat yang tak punya apapun untuk ditawarkan
kepada patron.
Demokrasi yang dikuasai para patronase
sering kali berkuasa dalam menentukan kepentingan ekonomi dan politik dalam
kekuasaannya. Modal politik yang dibutuhkan oleh elit politik dan calon
penguasa dalam mempertahankan syahwat politiknya didaerah. patron politik
selalu punya jaringan sosial ekonomi dengan para elit ekonomi yang bisa
memberikan dukungan finansial dalam ikut kontestasi demokrasi electoral
didaerah. dalam ranah sosiologis ada persepsi secara structural fungsional yang
sangat berperan didaerah. masyarakat didaerah selalu dipengaruhi secara
ekternal oleh kekuatan-kekuatan politik yang sangat primordialisme sehingga
terkadang masyarakat dihadapkan dengan pilihan yang sangat dilematis dalam
menentukan pilihannya. Demokrasi patronase rupanya hanya dimainkan oleh para
elit politik dalam ranah public, sebenarnya para calon kandidat juga seperti
calon boneka yang nantinya apabila berkuasa juga akan tersandera oleh
kepentingan para kapitalis yang sangat kuat dalam pemerintahan.
Status sosial para patronase juga
sangat besar mempengaruhi wilayah public dalam pilihan politiknya, akibat
masyarakat tidak bisa berpikir secara rasional dalam menentukan pilihannya,
tetapi sangat besar dipengaruhi oleh para tim sukses patron politik dalam
melakukan propaganda politik dan agitasi politik di dalam masyarakat. basis
masyarakat yang sangat tradisional tentu saja sangat dominan sekali
dipengaruhinya. Akibat semakin masifnya budaya popular dalam dunia maya.
Masyarakat sering tidak bisa berdaya dalam menghadapi pengaruh media yang sudah
dijadikan alat untuk melakukan conter balik apabila ada serangan kepada calon
petahana. Dalam demokrasi patronase media juga menjadi basis sosial dalam
memperkuat popularitas sang calon penguasa untuk bermain dramaturgi atau
pencitraan semu dalam masyarakat.
Elit ekonomi dan elit politik menjadi
sahabat baik dalam usaha untuk mempertahankan kekuasaannya, karena penguasa
butuh modal politik dalam usaha politik kekuasaannya, sedangkan elit ekonomi
butuh dukungan penguasa untuk leluasa menjadikan kepentingannya tetap aman
dalam wilayah penguasa. Sering kali para patron ekonomi dan politik duduk di
ranah public untuk sekedar menghabiskan waktu berdiskusi dalam banyak hal,tentu
saja kepentingan tetap menjadi prioritas yang paling utama. Para elit
konservatif tersebut berusaha untuk mempertahankan status quo penguasa agar
tetap bisa melestarikan kepentingannya. Demokrasi patronase merupakan suatu
cara para elit politik dengan membajak nilai-nilai demokrasi agar bisa
melakukan control atau pengawasan terhadap adanya oposisi-oposisi yang selalu
melakukan kritikan terhadap kekuasaannya. Padahal dalam demokrasi kritikan dari
public merupakan suatu sumbangan yang patut didengar dan dihargai, agar tetap
bisa menjaga keseimbangan dalam menjalankan azaz-azaz pemerintahan yang baik
oleh seorang pemimpin.
Kita lihat sekarang ini para elit local
sangat sibuk dikampung halamannya karena mereka menjadi patron bagi banyak
masyarakat dari kalangan kaum kebanyakan. Para elit local yang duduk di
kekuasaan baik eksekutif maupun legislative menjalankan hegemoni melalui
organisasi-organisasi kedaerahan, keagamaan, organisasi kepemudaan. Di organisasi
yang sangat banyak tersebut patron berusaha untuk mempengaruhi dengan jalan
fluiditas politik agar bisa ketergantungan dalam persoalan finansial. Kita juga
sering miris meihat kelompok civil society yang tidak mengambil peran dan
tanggung jawab dalam melakukan kontroling terhadap jalannya kekuasaan. Kemudian
para patron yang menghegemoni kekuatan organisasi didaerah menjadikan mandul
dalam ruang gerak kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat penguasa. Manipulasi
kesadaran yang dilakukan patron terhadap para aktivis organisasi menjadikannya
lebih leluasa secara diam-diam untuk mempertahankan syahwat politiknya dengan
cara-cara yang tidak lazim dalam kekuasaannya.
Kemudian yang tidak kalah dahsyatnya
adalah patronase didalam birokratis sangat besar sekali dalam melakukan campur
tangan. Birokratis sering kali dijadikan objek politik yang harus ikut apa kata
penguasa, sehingga profesionalitas dalam birokratis sedikit demi sedikit ikut
gaya kepemimpinan seorang penguasa. Apalagi pemimpin yang tidak punya
pengalaman panjang dalam memimpin birokratis didaerah. para penguasa juga
melakukan patronase khususnya melalui pekerjaan-pekerjaan birokrat dan
melakukan control terhadap rente yang tersedia dalam proyek-proyek yang
bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah. Pengelolaan birokratis
semakin jauh dari nilai-nilai regulative yang sudah diatur dalam rezim hukum. Sehingga
akan menjadikan preseden yang tidak bagus dalam budaya pengelolaan birokrat. Patron
semakin amatir dalam tindakan dan kebijakannya didaerah, terutama pada
penentuan rotasi jabatan-jabatan kekuasaan didalam Kabinetnya. Para sengkuni
politik atau para elit local dan kaum oligarki yang ada dilingkaran
kekuasaannya selalu menjadi pembisik utama dalam ikut mempengaruhi proses
kepentingan politik dan kepentingan ekonominya.
Para aktivis atau penggiat demokrasi
didaerah harus lebih banyak belajar lagi dalam situasi didaerah yang
demokrasinya dikuasai oleh elit-elit politik dan elit ekonomi sehingga menjadi
demokrasi patronase. Padahal demokrasi sejatinya adalah dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. tetapi dalam prakteknya demokrasi disandera oleh kaum
patron atau elit konservatif yang punya jaringan-jaringan dengan para elit
ekonomi dan juga para oligarki, sehingga demokrasi patronase semakin lestari
dan hidup dalam otonomi daerah. Ini akibat dari para aktivis atau penggiat
demokrasi didaerah juga masih begitu kompromi dengan para penguasa. Apalagi dihadapkan
pada kebutuhan psikological need yang menyandera para aktivis demokrasi
didaerah. akhirnya perjuangan untuk mengawal demokrasi didaerah menjadi tidak
produktif akibat tersandera oleh kepentingan ekonomi dan politik.
Konsekuensi logis yang terjadi
didaerah, patronase bisa saja hidup dalam ranah demokrasi, tetapi demokrasi
semakin deficit. Deficit demokrasi akibat terjadinya ketimpangan ekonomi dan
politik jangka panjang. Kemudian hubungan patron-klien dalam ranah demokrasi local
didaerah akan terus menjadi persoalan yang panjang kalau penggiat demokrasi
tidak serius dalam melakukan konsolidasi demokrasi didaerah.