Friday 30 September 2016

DEMOKRASI ELIT DIDAERAH OLEH: Suyito, S.Sos, M.Si Dosen Stisipol Tanjungpinang Wasekum Kahmi Prov. Kepri dan Presidium VMP Pusat.



Demokrasi patronase sangat berkait berkelindan dengan relasi-relasi sosial yang ada dan yang terus bisa dipertahankan. Ini jelas bukan sejenis fakta elite yang rapuh. Tapi inilah persekutuan partikularistik, yang cenderung mengeklusikan mereka yang tak punya hubungan-hubungan koneksi seperti kelompok-kelompok minoritas non-bisnis, non-lokal, atau kaum melarat yang tak punya apapun untuk ditawarkan kepada patron.
          Demokrasi yang dikuasai para patronase sering kali berkuasa dalam menentukan kepentingan ekonomi dan politik dalam kekuasaannya. Modal politik yang dibutuhkan oleh elit politik dan calon penguasa dalam mempertahankan syahwat politiknya didaerah. patron politik selalu punya jaringan sosial ekonomi dengan para elit ekonomi yang bisa memberikan dukungan finansial dalam ikut kontestasi demokrasi electoral didaerah. dalam ranah sosiologis ada persepsi secara structural fungsional yang sangat berperan didaerah. masyarakat didaerah selalu dipengaruhi secara ekternal oleh kekuatan-kekuatan politik yang sangat primordialisme sehingga terkadang masyarakat dihadapkan dengan pilihan yang sangat dilematis dalam menentukan pilihannya. Demokrasi patronase rupanya hanya dimainkan oleh para elit politik dalam ranah public, sebenarnya para calon kandidat juga seperti calon boneka yang nantinya apabila berkuasa juga akan tersandera oleh kepentingan para kapitalis yang sangat kuat dalam pemerintahan.
          Status sosial para patronase juga sangat besar mempengaruhi wilayah public dalam pilihan politiknya, akibat masyarakat tidak bisa berpikir secara rasional dalam menentukan pilihannya, tetapi sangat besar dipengaruhi oleh para tim sukses patron politik dalam melakukan propaganda politik dan agitasi politik di dalam masyarakat. basis masyarakat yang sangat tradisional tentu saja sangat dominan sekali dipengaruhinya. Akibat semakin masifnya budaya popular dalam dunia maya. Masyarakat sering tidak bisa berdaya dalam menghadapi pengaruh media yang sudah dijadikan alat untuk melakukan conter balik apabila ada serangan kepada calon petahana. Dalam demokrasi patronase media juga menjadi basis sosial dalam memperkuat popularitas sang calon penguasa untuk bermain dramaturgi atau pencitraan semu dalam masyarakat.
          Elit ekonomi dan elit politik menjadi sahabat baik dalam usaha untuk mempertahankan kekuasaannya, karena penguasa butuh modal politik dalam usaha politik kekuasaannya, sedangkan elit ekonomi butuh dukungan penguasa untuk leluasa menjadikan kepentingannya tetap aman dalam wilayah penguasa. Sering kali para patron ekonomi dan politik duduk di ranah public untuk sekedar menghabiskan waktu berdiskusi dalam banyak hal,tentu saja kepentingan tetap menjadi prioritas yang paling utama. Para elit konservatif tersebut berusaha untuk mempertahankan status quo penguasa agar tetap bisa melestarikan kepentingannya. Demokrasi patronase merupakan suatu cara para elit politik dengan membajak nilai-nilai demokrasi agar bisa melakukan control atau pengawasan terhadap adanya oposisi-oposisi yang selalu melakukan kritikan terhadap kekuasaannya. Padahal dalam demokrasi kritikan dari public merupakan suatu sumbangan yang patut didengar dan dihargai, agar tetap bisa menjaga keseimbangan dalam menjalankan azaz-azaz pemerintahan yang baik oleh seorang pemimpin.
          Kita lihat sekarang ini para elit local sangat sibuk dikampung halamannya karena mereka menjadi patron bagi banyak masyarakat dari kalangan kaum kebanyakan. Para elit local yang duduk di kekuasaan baik eksekutif maupun legislative menjalankan hegemoni melalui organisasi-organisasi kedaerahan, keagamaan, organisasi kepemudaan. Di organisasi yang sangat banyak tersebut patron berusaha untuk mempengaruhi dengan jalan fluiditas politik agar bisa ketergantungan dalam persoalan finansial. Kita juga sering miris meihat kelompok civil society yang tidak mengambil peran dan tanggung jawab dalam melakukan kontroling terhadap jalannya kekuasaan. Kemudian para patron yang menghegemoni kekuatan organisasi didaerah menjadikan mandul dalam ruang gerak kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat penguasa. Manipulasi kesadaran yang dilakukan patron terhadap para aktivis organisasi menjadikannya lebih leluasa secara diam-diam untuk mempertahankan syahwat politiknya dengan cara-cara yang tidak lazim dalam kekuasaannya.
          Kemudian yang tidak kalah dahsyatnya adalah patronase didalam birokratis sangat besar sekali dalam melakukan campur tangan. Birokratis sering kali dijadikan objek politik yang harus ikut apa kata penguasa, sehingga profesionalitas dalam birokratis sedikit demi sedikit ikut gaya kepemimpinan seorang penguasa. Apalagi pemimpin yang tidak punya pengalaman panjang dalam memimpin birokratis didaerah. para penguasa juga melakukan patronase khususnya melalui pekerjaan-pekerjaan birokrat dan melakukan control terhadap rente yang tersedia dalam proyek-proyek yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah. Pengelolaan birokratis semakin jauh dari nilai-nilai regulative yang sudah diatur dalam rezim hukum. Sehingga akan menjadikan preseden yang tidak bagus dalam budaya pengelolaan birokrat. Patron semakin amatir dalam tindakan dan kebijakannya didaerah, terutama pada penentuan rotasi jabatan-jabatan kekuasaan didalam Kabinetnya. Para sengkuni politik atau para elit local dan kaum oligarki yang ada dilingkaran kekuasaannya selalu menjadi pembisik utama dalam ikut mempengaruhi proses kepentingan politik dan kepentingan ekonominya.
          Para aktivis atau penggiat demokrasi didaerah harus lebih banyak belajar lagi dalam situasi didaerah yang demokrasinya dikuasai oleh elit-elit politik dan elit ekonomi sehingga menjadi demokrasi patronase. Padahal demokrasi sejatinya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. tetapi dalam prakteknya demokrasi disandera oleh kaum patron atau elit konservatif yang punya jaringan-jaringan dengan para elit ekonomi dan juga para oligarki, sehingga demokrasi patronase semakin lestari dan hidup dalam otonomi daerah. Ini akibat dari para aktivis atau penggiat demokrasi didaerah juga masih begitu kompromi dengan para penguasa. Apalagi dihadapkan pada kebutuhan psikological need yang menyandera para aktivis demokrasi didaerah. akhirnya perjuangan untuk mengawal demokrasi didaerah menjadi tidak produktif akibat tersandera oleh kepentingan ekonomi dan politik.
          Konsekuensi logis yang terjadi didaerah, patronase bisa saja hidup dalam ranah demokrasi, tetapi demokrasi semakin deficit. Deficit demokrasi akibat terjadinya ketimpangan ekonomi dan politik jangka panjang. Kemudian hubungan patron-klien dalam ranah demokrasi local didaerah akan terus menjadi persoalan yang panjang kalau penggiat demokrasi tidak serius dalam melakukan konsolidasi demokrasi didaerah.  

Wednesday 21 September 2016

OLIGARKI POLITIK DI DAERAH SUYITO, S.SOS, M.SI DOSEN STISIPOL RAJA HAJI TANJUNGPINANG WASEKUM KAHMI PROV. KEPR DanI PRESIDIUM VMP PUSAT







          Oligarki didefinisikan sebagai politik mempertahankan kekayaan (wealth defense). Kekuasaan material adalah basis bagi kekuasaan oligarkis. Demokrasi dan oligarkis sangat berbeda dalam prakteknya dalam kehidupan sosial. Kalau demokrasi sangat berkaitan dengan kekuasaan politik formal yang tersebar yang didasarkan pada hak, prosedur, dan tingkat partisipasi popular, berbeda dengan itu, oligarki didefinisikan sebagai kekuasaan material yang terkosentrasi yang didasarkan pada klaim atau hak yang dipaksakan atas kepemilikan atau kekayaan dalam Winter (2014:207).
Secara sosiologis oligarki politik merupakan dominasi kelompok  yang berada didalam lingkaran kekuasaan dan berusaha menguasai kepentingan ekonomi atau material untuk mempertahankan kemewahannya. Berbeda dengan kelompok elit yang kadang tidak memiliki kekuasaan materialis sehingga harus bekerja sama untuk bisa memberikan support dana demi kepentingan para kandidat untuk memuluskan kemenangannya di kontetasi demokrasi. Tindakan kaum oligarki yang kawin kepentingan dengan para kandidat atau elit politik yang akan bertarung bisa diprediksi secara sosiologis. Analisisnya adalah kalau memenangkan pertarungan tentu saja kaum oligarkis akan tetap untung menggarap kesepakatan dengan kaum elit yang jadi penguasa tersebut. Kemudian keberadaan kaum oligarki secara struktur sosial sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak para kaum elit saat berkuasa. Pemimpin yang tersandera oleh kaum oligarki tidak akan mampu melepaskan dari jerat  politiknya, sehingga secara dramaturgi permainan panggung depan pemimpin setelah berkuasa akan sangat bertolak belakang dengan janjinya saat berkampanye dimasyarakat.
          Dalam teori sumber kekuasaan, kandidat terpilih secara langsung tentu saja mendapatkan sumber kekuasaannya dari rakyat atau mandatnya diberikan oleh rakyat dalam demokrasi electoral. Tetapi belakangan ternyata kecenderungan penguasa selalu harus berurusan dengan janji-janji sebelum berkuasa untuk ditunaikan kewajibannya. Inilah dilema pemimpin didaerah yang selalu berani ambil resiko untuk maju mencalonkan menjadi pemimpin tetapi dari hasil hutang politik kepada elit ekonomi. Sehingga realisasi visi, misi beserta program dan proyeksinya untuk kesejahteraan masyarakat semakin kabur dari realitas public.
          Kaum oligarki sangat sadar bahwa demokrasi membawa ancaman yang berbahaya akan eksistensi di tengah-tengah public. apalagi dalam demokrasi langsung beban moral seorang pemimpin akan diminta tanggungjawabnya saat sudah jauh dari kaca mata public saat setiap membuat kebijakan public. tanggung jawab untuk mensejahterakan akan diminta langsung oleh public kepada setiap penguasa. Kalau tidak justru akan membuat ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin. Masyarakat akan menjadi curiga dan mulai menilai peran orang-orang disekeliling penguasa yang kuat menyetir penguasa demi kepentingannya. Disinilah perlunya kekuasaan masyarakat sipil untuk mampu menekan sehingga peran kaum oligarki bisa dikurangi terhadap kekuasaannya.
          Secara structural fungsional kaum oligarki ternyata memberikan kontribusi positif terhadap para elit politik, sehingga tetap dijaga equilibrium dalam realisasinya. Keteraturan antara kaum oligarki dan kaum elit tetap harmoni dan bekerja sama, karena sudah terjadi consensus atau deal politik yang bersifat rasional. Apalagi dalam memperoleh hasil terakhir ternyata menang, pasti akan ada kesadaran kolektif antara elit politik dan kaum oligarkis. Tetapi acapkali terjadi juga anomi atau kegagalan dalam mencapai kesepakatan antara elit dan kelompok oligarki saat menelan kekalahan dalam pemilihan kepala daerah. Itu merupakan resiko politik yang harus ditanggung para kandidat dalam memenuhi janjinya untuk membayar hutang politik.
          Secara teori Konflik, pergantian kekuasaan merupakan hal yang lumrah dalam setiap suksesi kepemimpinan di dalam kekuasaan dengan cara bersaing dan berkompetisi sehingga terjadilah perubahan. Tetapi harapan masyarakat hanya sebagai kelompok yang termarginalkan akibat realitas sosial politik yang masih belum dewasa dalam mendidik masyarakat dalam berpolitik secara cerdas dan pilihan rasionalitasnya. Kepentingan para penguasa dan kelompok oligarki masih terus menerus menempel dalam wajah kekuasaan hari ini, sehingga kepentingan masyarakat masih menjadi permukaan bawah atau kandang peliharaan yang hanya dibutuhkan pada saat pilkada akan dimulai.
          Oleh karena itulah kelompok oligarki perlu kekuasaan kaum elit politik untuk bisa menopang kepentingannya secara ekonomi dan politik, sehingga bisa dengan leluasa sebagai kelompok yang tersembunyi dan tidak kelihatan melakukan pressure apabila sudah menyimpang dari perjanjian awalnya. Kelompok yang tersembunyi dan tidak kelihatan dalam teori kubus kekuasaan sangat besar mempengaruhi jalannya kekuasaan didaerah, sehingga seakan-akan ada tangan tidak Nampak tetapi sangat berkuasa dalam mempengaruhi setiap kebijakan ekonomi dan politik penguasa.
         


         

Sunday 18 September 2016

PASAR POLITIK UANG OLEH: SUYITO, S.SOS, M.SI DOSEN STISIPOL TANJUNGPINANG





         
Demokrasi electoral atau langsung memang sebuah harapan dari masyarakat untuk bisa menentukan calon pemimpin yang diharapkan, sehingga mampu memberikan harapan kepada masyarakat ditengah-tengah makin banyaknya pemimpin yang tidak mementingkan rakyatnya. Tetapi secara sosiologis demokrasi electoral dipermukaan bawah juga dirusak oleh semakin masifnya politik uang yang mengakibatkan menurunnya demokrasi electoral. Bahkan demokrasi electoral atau sekarang dirubah mekanismenya dengan pemilu serentak ternyata sudah menjadi pasar politik uang antara calon penguasa dengan para pemilih di lingkungan masyarakat. harga sebuah suara ternyata tidak ditentukan oleh kaidah hukum permintaan tetapi lebih ditentukan oleh variable yang sulit di ukur.
          Pasar politik uang terjadi dan sangat massif kalau dilihat dari kondisi pemilih yang masih seret dalam ekonomi, ibarat tutup ketemu botolnya. Kondisi pemilih secara ekonomi sangat besar mempengaruhi terjadinya pasar politik uang dimasyarakat. kondisi ekonomi masyarakat yang belum sejahtera dan banyaknya pengangguran atau penghasilan yang tidak mencukupi menjadi sasaran bagi para kandidat untuk melakukan praktek jual beli suara. Fenomena jual beli suara sudah bukan menjadi rahasia umum lagi di kalangan masyarakat hari ini. disinilah substansi demokrasi semakin deficit akibat semakin tidak diaajarkannya pendidikan politik cerdas kepada masyarakat. apalagi masyarakat sudah semakin cerdas untuk dirayu hanya dengan janji-janji politik yang sering kali dilupakan oleh para kandidat saat sudah duduk di singgasana kekuasaannya. Fenomena jual beli suara akibat para kandidat tidak punya ideology dan jiwa untuk membangun daerah. Ini juga diakibatkan oleh fenomena lingkungan politik yang sudah semakin besar pengaruhnya kepada para kandidat untuk melakukan jual beli suara dimasyarakat.
          Fenomena politik uang juga terjadi akibat pengaruh dari structural dimasyarakat. pengaruh structural yaitu adanya orang-orang berpengaruh didalam lingkungan masyarakat yang bisa mempengaruhi orang-orang dalam menentukan pilihannya. Dalam tindakan sosial Weberian dinamakan dengan tindakan tradisional. Tindakan tradisonal artinya orang dalam memilih kandidat tidak menggunakan rasional berpikir yang banyak pertimbangannya, tetapi justru ditentukan oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama. Hegemoni para tokoh pada lapisan sosial dimasyarakat yang mempengaruhi independensi orang-orang dalam menentukan pilihannya saat pilkada berlangsung. Jadi secara structural politik ternyata besar pengaruhnya para elit dimasyarakat dalam mempengaruhi, apalagi para pemilih sangat tinggi ketergantungannya pada patron di daerah.
          Selanjutnya pasar politik uang juga diramaikan  saat sebelum pilkada berlangsung, sudah ada kesepakatan antara kandidat dengan para pemilih dan dibayar dengan cara bayar dimuka terlebih dahulu. Kalau menang maka akan dibayar semua janji politik tersebut, walaupun ada juga yang ingkar janji dalam realitasnya. Tetapi di sebagian masyarakat ada juga yang hanya kerjanya sebagai golongan pengumpul uang tunai dari para tim sukses kandidat yang akan maju, tetapi tidak memilih. Karena ada juga yang punya alasan tidak ada gunanya memilih para kandidat tersebut, karena tidak ada realisasinya untuk masyarakat saat terpilih. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi mengatakan kandidat yang menang udah lupa dengan siapa pemilihnya dan sombong pula setelah terpilih. Dia lupa mandat diberikan oleh masyarakat, tetapi peran dan tanggung jawab sangat miskin sekali untuk mengabdi kepada masyarakat, begitulah realisasinya. Tetapi begitulah adaptasi atau kemampuan para kandidat dalam melakukan tradisi menyesuaikan dengan masyarakat, biar terpilih tujuan sebenarnya. Berbaurnya para kandidat dalam masyarakat merupakan strategi untuk bisa mengambil simpati masyarakat agar bisa mempengaruhi kesadaran politik masyarakat dan memilihnya. Pola seperti itu seringkali dipakai para kandidat dalam memuluskan hajatnya.
          Kemudian dalam masyarakat juga ada kelompok yang tetap segan untuk tidak memilih karena politik uang yang dilakukan oleh timses para kandidat. Ini merupakan sasaran empuk para timses untuk mempengaruhi tingkat keterpilihannya. Biasanya diberikan para timses saat momentum seremonial keagamaan, upacara adat dimasyarakat tertentu ataupun kegiatan sosial sehingga menambah semaraknya pasar politik uang dalam demokrasi electoral di daerah.
          Selanjutnya dalam pasar politik uang juga diramaikan oleh primordialisme etnis dan hubungan kekerabatan yang mempengaruhi electoral dalam setiap momentum pilkada dalam demokrasi didaerah. primordialisme etnis juga menjadi sasaran para timses kandidat dalam meningkatkan elektabilitas dalam pemilihan. Weberian sering menamakan ini dengan tindakan afeksional, atau adanya kekuatan ikatan emosional dalam setiap pemilih karena adanya kesamaan dalam latar belakang etnis dan asal daerah. Hal ini umumnya dijumpai didaerah yang sangat heterogen atau komposisi etnik yang beragam didaerah. tujuannya adalah untuk membangkitkan spirit primordialisme dengan tujuan bisa mendukung kandidat yang akan bertarung dalam pilkada. Sering kali ini dijumpai di dalam kehidupan politik masyarakat. para kandidat berusaha sowan kepada setiap kelompok suku atau paguyuban-paguyuban untuk meminta dukungan politik agar menang dalam momentum pilkada saat berlangsung.
          Begitulah yang terjadi dalam pasar politik uang dalam setiap momentum pilkada langsung atau pilkada serentak saat ini.walaupun sering kita lihat para kandidat tidak mau melakukan kontrak tertulis yang mengikat secara hukum. Karena bisa saja kontrak tertulis itu dijadikan alat bukti untuk proses hukum. Kontrak antara kandidat hanya terjadi pada perjanjian yang tidak diikat apapun, sehingga kalau ingin menuntut tidak punya dasar apapun. Sehingga sering kita lihat para kandidat yang menang dalam pertarungan sering lupa untuk menunaikan janjinya kepada masyarakat yang memilihnya. Sehingga momentum pilkada serentak dijadikan pasar politik uang oleh para kandidat dan juga para pemilih, atau hanya bersifat untung-untungan. Dari kesimpulan uraian diatas ternyata pasar politik uang terjadi kecenderungannya disebabkan oleh factor kondisi ekonomi pemilih,patron politik dimasyarakat, timing saat memberikan uang, dan juga factor primordialisme etnis.
          Para kandidat politik didaerah harus tetap di ingatkan bahwa demokrasi harus semakin cerdas dan bermutu, jika selama ini gencar dalam memburu suara rakyat dengan cara-cara tradisional. Para kandidat juga perlu melakukan politician education, agar masa depan demokrasi electoral semakin membuahkan hasil yang diharapkan oleh masyarakat.
          Banyak uang bukan menjadi jaminan untuk terpilih, karena kalau ideology itu yang dipakai oleh kandidat maka akan berusaha meminimalisasikan politik uang setiap pilkada. Karena politik uang akan membuat rapuh dan menurunkan legitimasi pemerintahan dimata masyarakat. oleh karena itulah perlu diputus lingkaran setan politik uang didalam setiap demokrasi electoral, agar dapat menghadirkan Clean Politics atau politik yang berintegritas. Semoga.






Saturday 17 September 2016

DEMOKRASI TERSANDERA ELIT KONSERVATIF OLEH: SUYITO, S.SOS, M.SI Dosen Stisipol Raja Haji Fisabilillah





         
Demokrasi di Indonesia saat ini merupakan buah dari hasil reformasi tahun 1998 yang di komandoi oleh para mahasiswa yang menentang rezim penguasa saat itu. sejarah masa lalu seperti itu tidak boleh hanya dijadikan delusi ingatan, tetapi harus juga di ambil hikmahnya untuk selalu menjaga panggung demokrasi dari orang-orang yang masih saja ingin bercokol tetapi merongrong demokrasi tetap eksis di negara ini. negara ini harus tetap eksis menjalankan demokrasi, jangan sampai muncul ingin kembali lagi ke zaman orde lama yang sangat terpimpin sekali demokrasinya, atau zaman orde baru yang 32 tahun menjajah kebebasan masyarakat sipil dalam menyuarakan kebenaran. Tetapi kalau pemerintahan tetap tidak efektif dalam menjalankan system pemerintahan, ditandai dengan korupsi dan kesalahan manajemen akan mendorong warga untuk memilih figure otorian. Kemudian ketidakpuasan public terhadap pemerintah beralih pada tahap ke dua yaitu kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi atau terjadinya deficit demokrasi akibat tidak diselesaikannya dibawah permukaan negara ini dalam hal kesejahteraan rakyat, sehingga kandang kenegaraan menjadi terganggu akibat tergerus oleh semakin kentalnya transaksional politik dan mahalnya menjadi politisi.
          Deficit demokrasi saat ini bisa juga kita lihat semakin kuatnya para elit konservatif yang berusaha ingin mengembalikan demokrasi electoral ke demokrasi perwakilan yang hanya berputar pada wakil rakyat yang tidak merakyat. Actor konservatif tersebar di struktur dan lembaga manapun, agendanya tetap saja ingin mengamankan kepentingan politik dan kelompoknya. Actor konservatif tak ubahnya seperti para vampire atau predator yang mengikis demokrasi yang sudah terbangun pasca tumbangnya rezim orde baru. Para elit politik yang konservatif tetap ingin bernostalgia berkuasa, sehingga perlu dikebiri system pemilihan yang sifatnya langsung. Dengan cara melakukan evaluasi dalam tahapan demokrasi electoral yang banya bobroknya dan harus segera digantikan sistemnya yang lebih demokrasi yaitu system perwakilan. Tentu saja secara realitas pengetahuan dan kekuasaan, para saint politik yang tahu secara mendalam tentang agenda tersembunyi oleh para elit konservatif menjadi penentang dengan argumentative.
 Media juga menyuarakan agenda tersembunyi dengan narasumber para ahli sosial dan politik sehingga membuka bobrok kaum oligharkis yang konservatif. Peran masyarakat sipil juga menyambutnya dengan reaksioner menentangnya sehingga dalam realitas sosial akhirnya kepentingan para elit konservatif hilang bagaikan ditelan bumi. Peran masyarakat sipil sangat strategis sekali dalam mengawal demokrasi yang diganggu dalam negara ini. karena jika deficit demokrasi terjadi dinegara ini maka akan muncul lagi kejahatan yang dilakukan oleh kelompok atau apapun tetapi tidak pernah dihukum, jelas sekali ini melanggar hak-hak azazi manusia. Kemudian deficit demokrasi juga akan mengakibatkan semakin tidak ada toleransinya terhadap kekerasan dan preman politik didalam era demokrasi saat ini. apalagi tekad bersama untuk membongkar ketidakadilan tidak akan terjadi kalau deficit demokrasi mengalami jalan terjal dalam bangsa ini. sehingga perlu meneguhkan demokrasi sehingga semakin kokoh dan kuat di negara ini.
          Kemudian para elit konservatif juga berusaha menghambat jalannya penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi yang sudah semakin merajalela demi melindungi agenda kepentingannya. Beberapa kali Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK diminta bubar oleh para elit konservatif, karena menggangu kepentingan para elit politik untuk menumpuk modal ekonomi dengan jalan kawin kepentingan dengan para elit ekonomi. Pemberantasan korupsi juga mengalami pasang surut akibat masih kentalnya kekuasaan yang mempengaruhi jalannya pemberantasan korupsi. Padahal negara ini adalah negara hukum dalam Konstitusinya, tetapi dalam prakteknya banyak sekali penguasa yang melakukan intervensi dalam penegakan hukum di negara ini. berapa kali lembaga ini mengalami benturan keras dengan penegak hukum lainnya, sehingga mengalami kriminalisasi hukum. Tetapi peran masyarakat sipil kuat sekali merespon dan secara mayoritas mendukung lembaga anti rasuah ini untuk tetap eksis dalam memberantas para elit politik dan penguasa melakukan korupsi. Walaupun ada juga kejadian yang menimpa lembaga anti rasuah seperti penangkapan antasari dengan perkara yang direkayasa atau dikriminal oleh para penegak hukum lainnya akibat intervensi oleh penguasa. Tetapi media online dan massa sangat besar mempengaruhi penguasa, sehingga memaksa pemimpin di negara ini untuk menyelesaikan kegaduhan hukum saat itu.
          Selanjutnya elit konservatif juga berusaha untuk tidak fair dalam pemenuhan hak-hak minoritas di negara ini. sehingga menggerogori bangunan pluralisme dalam masyarakat. pemerintah tidak bisa tinggal diam bahkan terkesan membiarkan untuk kekerasan dan premanisme mayoritas yang berbau agama. Pemerintah harus tegak dalam penegakan hukum di negara ini, siapa yang salah harus dihukum seberat-beratnya, karena melanggar hak azazi manusia dan etika demokrasi. Tetapi mayoritas juga harus bisa membuktikan zero toleransi terhadap kekerasan dan preman, dan mewarnai dengan nilai-nilai demokrasi yang bisa diterima semua lapisan dan kalangan masyarakat. apabila mayoritas gagal dalam mencapai kesepakatan tersebut dan masih juga diskriminatif terhadap kaum minoritas, maka tentu saja gagal menjadi mayoritas. Untuk itulah merajut dan menjaga bangunan pluraslisme yang sangat majemuk perlu peran pemimpin untuk selalu hadir dan tegas dalam penegakan hukum.
          Untuk itulah perlu sekali memperkuat masyarakat sipil supaya bisa menghambat agenda tersembunyi para elit konservatif yang ingin mengembalikan demokrasi menjadi tidak kokoh karena ingin mengamankan agenda kepentingannya. Karena kalau masyarakat sipil tidak diperkuat tentu saja akan sulit dalam capaian-capaian demokratis. Semoga demokrasi di negara ini semakin kokoh dan tidak tergerus oleh berbagai macam intrik dan agenda tersembunyi para elit yang bersembunyi dalam topeng kekuasaan tetapi sangat konservatif dan tidak reformis.