Gema
retorika yang dilakukan oleh para tim sukses calon bupati atau walikota
menggema dalam wilayah public. apalagi ditambah dengan bumbu-bumbu politik yang
semakin semarak dengan campuran-campuran yang memabukkan rakyat. rakyat seakan
lupa dengan penguasa sebelumnya menjadi narapidana akibat terperangkap dengan
kasus korupsi di daerah. Bisa saja korupsi Anggaran Pembangunan Belanja Daerah,
kemudian bisa saja karena terjerat akibat dana bansos yang banyak melibatkan
penguasa di daerah. Tetapi dengan tidak malunya berani mencalonkan diri menjadi
calon pemimpin didaerah dan akhirnya menang. kita kadang bingung dengan
masyarakat hari ini, kenapa tidak berani menghukum calon penguasa yang dulunya
sudah dibuktikan salah oleh pengadilan. Sanksi sosial oleh masyarakat mestinya
tetap tidak menjadikannya seorang pemimpin. Apalagi efek pilkada langsung
memang sangat luar biasa rakyat mendominasi setiap kontestasi pemilu. Tetapi
jangan lupa juga pemilihan langsung ternyata memberikan kesempatan calon
penguasa dari latar belakang apapun asalkan banyak duit kemudian bisa menyuap
masyarakat cenderung terpilih. Itulah realitas demokrasi electoral saat ini,
bukan menjadi baik dan menghasilkan pemimpin yang lahir dari rakyat, tetapi
justru sebaliknya karena modal politiknya kuat, sehingga mampu membeli
kendaraan politik untuk bertarung dalam pesta demokrasi.
Kemudian hari ini juga fenomena yang
tak kalah hebatnya adalah banyaknya elit politik yang tidak mau melepaskan baju
politiknya saat sudah menjadi pejabat politik. Misalnya terpilih jadi gubernur
atau bupati justru juga rangkap jabatan menjadi ketua umum partai di daerah.
Ini menunjukkan bahwa kita hari ini tidak siap berdemokrasi dengan menanggalkan
baju partai untuk lebih fokus dalam berkuasa atau menjadi wakil rakyat di
parlemen daerah. Ini realitas sosial yang sudah objektif terlihat dalam wajah
perpolitikan kita hari ini. entah kenapa mereka justru anomaly demokrasi hari ini
tidak menunjukkan kualitas demokrasi yang semakin substansial. Seharusnya
memberikan pendidikan politik yang sehat dan cerdas, dan tidak memberikan
persepsi negative kepada public. memang dalam aturan tidak ada yang melarang
seorang gubernur, bupati atau wakil rakyat untuk rangkap jabatan, tetapi etika
politik justru dilanggarnya. Apalagi dalam melakukan pengabdian kepada rakyat
tentu akan terjadi konflik kepentingan dalam mendahulukan prioritasnya. Ini
seharusnya cepat direspon oleh rakyat, karena akan menganggu pemimpin dalam
pengabdiannya kepada masyarakat.
Dalam demokrasi yang serba terbuka
saat ini, public juga harus memberikan perhatian serius dalam masalah seperti
ini, karena modus-modus yang dilakukan oleh para penguasa yang rangkap jabatan
dalam politik, tentu akan memberikan juga perhatiannya dalam sebuah partai
politik. Apalagi partai politik harus digerakkan dengan sumber finansial yang
tidak kecil, sehingga disitulah public harus mencermati dan mengkritik agar
penguasa atau pemimpin tidak rangkap jabatan dalam politik. Karena budaya
rangkap jabatan masih menjadi suatu hal yang lumrah terjadi di pusat dan
didaerah hari ini. padahal tugas seorang penguasa sudah cukup berat
sehari-hari, mesti dihadapkan lagi dengan tugasnya sebagai ketum partai politik
didaerah. walaupun bisa saja dilakukan seiring sejalan.
Dalam analisis fungsional Parsonian,
tentu saja fenomena rangkap jabatan ini bisa di lihat dari persyaratan
fungsional dalam sebuah system sosial yaitu bagaimana adaptif, goal atau
tujuan, integrasi dan laten maintenance. Dari analisis adaptif seharusnya
pejabat politik yang jadi gubernur atau bupati dan walikota yang rangkap
jabatan mestinya harus mampu secara realitas menyesuaikan kebutuhan sosok
pemimpin yang merakyat. Karena kalau rangkap jabatan berarti tidak mampu
melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan pemimpin yang merakyat dan total
memikirkan kesejahteraan rakyat. kita butuh pemimpin yang mampu menderita
ditengah-tengah rakyat untuk bersama-sama bekerja dengan rakyat. disitulah urgensinya
bagaimana seorang pemimpin yang tidak konflik kepentingan dengan partai
politik, tetapi lebih fokus mengurus rakyat. adaptasi juga dibutuhkan seorang
pemimpin yang fokus memikirkan bagaimana pembangunan ekonomi dijalankan dengan
tetap memperhatikan secara merata. Penguasa harus fokus mengeluarkan masyarakat
dari belenggu kemiskinan dengan solusi pemberdayaan di masyarakat. pemberdayaan
masyarakat juga berusaha untuk meminimalisasikan masyarakat dari kemiskinan
structural, akibat dominasi dalam bidang ekonomi segelintir elit. Penguasa yang
tidak mampu melakukan produktivitas dalam bidang ekonomi, akhirnya menjadikan
masyarakat semakin konsumtif dan konsumerisme. Ini juga akibat rangkap jabatan
yang tidak fokus untuk melakukan pembaharuan dalam sector ekonomi dan terlalu
bergantung kepada APBD di daerah. Apalagi menjelang semakin dekatnya
pemilihannya, semakin kuat kepentingan politik itu terjadi. Syahwat politik
dinampakkan dengan tetap mempertahankan diri sebagai petahana yang akan
mencalonkan lagi. Penyebab semakin seringnya rangkap jabatan yang dilakukan
oleh pejabat politik salahsatunya adalah agar tetap tidak diganggu pada saat
mencalonkan kembali menjadi pemimpin. Sehingga modus pembangunan ekonomi selalu
terselip adanya kampanye politik yang dilakukan oleh penguasa dan selalu
melakukan pencitraan politik.
Kemudian dalam analisis fungsional,
rangkap jabatan akan mengganggu pemimpin dalam mewujudkan kepentingan
masyarakat secara total. Karena tujuan menjadi pemimpin atau penguasa tetap
harus mensejahterakan masyarakat dan berkeadilan. Fenomena rangkap jabatan di
dalam setiap pemerintahan akan membuat birokrasi terpengaruh dengan
symbol-simbol partai politik yang dipimpinnya. Misalnya warna partai dijadikan
simbolisasi dalam setiap ada acara-acara pemerintahan.kemudian bisa saja warna
kantor dirubah dengan warna partai yang dipimpinnya. Padahal seorang pemimpin
harus mampu mendorong birokrat melakukan reformasi dalam bidang pelayanannya
,Agar tidak mengecewakan masyarakat. rangkap jabatan kelihatannya tidak
memberikan wujud yang etis dalam public. di satu sisi sebagai ketua umum partai
politik didaerah yang tujuannya kepentingan pragmatis dan bagaimana
menggerakkannya. Disisi lain sebagai gubernur atau bupati dan walikota
menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat. bagaimana mau menjalankan
mandate rakyat dalam pemerintahan, kalau dalam partai politik juga menerima
mandat untuk menggerakkan partai politik, tentu saja akan mengganggu mandat
yang diberikan oleh rakyat.
Selanjutnya dalam analisis fungsional
dari factor integritas atau pembauran dimasyarakat juga akan terganggu dalam
rangkap jabatan seorang pemimpin dimasyarakat. rangkap jabatan seorang pemimpin
atau penguasa justru banyak dikelilingi oleh para elit politik yang
dipimpinnya. Terkadang para elit partai politik yang mengelili penguasa juga
bisa menjadi sengkuni atau pembisik dalam menentukan kebijakan ekonomi dan
politik di pemerintahan. Padahal mandate diberikan oleh masyarakat, seharusnya
pemimpin atau penguasa didaerah harus mempunyai kaca mata public dalam setiap
membuat kebijakan public. bukan meninggalkan masyarakat dan berkolaborasi atau
integrasi dengan para elit ekonomi dan politik. Padahal setiap pilkada
berlangsung calon penguasa selalu mendekat dan berbaur atau berintegrasi dengan
masyarakat, karena ingin merebut hati masyarakat dan terpilih sebagai pemimpin.
Setelah itu masyarakat ditinggalkan, bahkan tidak mau melakukan konsultasi
public dalam setiap membuat program pembangunan. Walaupun ada juga dilakukan
musyawarah pembangunan dengan masyarakat, tetapi tetap kepentingan politik
tetap besar pengaruhnya. Penguasa selalu dekat dengan para elit ekonomi, bahkan
sering kawin kepentingan yang merugikan masyarakat. misalnya memberikan izin
untuk pasar modern yang justru akan memarginalkan pasar tradisional, jelas
sekali ini tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat secara umum. Padahal seharusnya
penguasa yang mendapat mandat sah dari masyarakat, berpikir dan bertindak
bagaimana memperbaharui pasar-pasar tradisional sehingga lebih bersaing dengan
pasar modern seperti malldisasi. Tetapi karena masih berpikir aji mumpung, dan
menguntungkan secara finansial dan kurang memikirkan rakyat, akhirnya berdiri
juga mall atau pasar modern tersebut.
Dalam analisis fungsional
selanjutnya ada variable laten maintenance, atau pola rangkap jabatan tetap
akan membuat adaftasi, tujuan dan integrasi akan selalu terganggu dalam
melakukan pengabdiannya. Pola rangkap jabatan secara etika politik tetap tidak
patut, karena dalam demokrasi substansial harusnya elegan secara total
melakukan pengabdian kepada masyarakat. dengan konflik kepentingan dalam
rangkap jabatan akan membuat pola seperti itu menjadi fakta sosial dalam system
politik saat ini. sudah seharusnyalah pola rangkap jabatan harus dilarang dan
dipertegas dengan regulasi dalam undang-undang partai politik, supaya dalam
pemerintahannya seorang penguasa akan leluasa mengabdi kepada rakyat dan tidak
konflik kepentingan.
No comments:
Post a Comment