Monday 15 August 2016

Rangkap Jabatan Penguasa. Oleh : Suyito, M.Si Dosen sosiologi politik stisipol tanjungpinang



Gema retorika yang dilakukan oleh para tim sukses calon bupati atau walikota menggema dalam wilayah public. apalagi ditambah dengan bumbu-bumbu politik yang semakin semarak dengan campuran-campuran yang memabukkan rakyat. rakyat seakan lupa dengan penguasa sebelumnya menjadi narapidana akibat terperangkap dengan kasus korupsi di daerah. Bisa saja korupsi Anggaran Pembangunan Belanja Daerah, kemudian bisa saja karena terjerat akibat dana bansos yang banyak melibatkan penguasa di daerah. Tetapi dengan tidak malunya berani mencalonkan diri menjadi calon pemimpin didaerah dan akhirnya menang. kita kadang bingung dengan masyarakat hari ini, kenapa tidak berani menghukum calon penguasa yang dulunya sudah dibuktikan salah oleh pengadilan. Sanksi sosial oleh masyarakat mestinya tetap tidak menjadikannya seorang pemimpin. Apalagi efek pilkada langsung memang sangat luar biasa rakyat mendominasi setiap kontestasi pemilu. Tetapi jangan lupa juga pemilihan langsung ternyata memberikan kesempatan calon penguasa dari latar belakang apapun asalkan banyak duit kemudian bisa menyuap masyarakat cenderung terpilih. Itulah realitas demokrasi electoral saat ini, bukan menjadi baik dan menghasilkan pemimpin yang lahir dari rakyat, tetapi justru sebaliknya karena modal politiknya kuat, sehingga mampu membeli kendaraan politik untuk bertarung dalam pesta demokrasi.
            Kemudian hari ini juga fenomena yang tak kalah hebatnya adalah banyaknya elit politik yang tidak mau melepaskan baju politiknya saat sudah menjadi pejabat politik. Misalnya terpilih jadi gubernur atau bupati justru juga rangkap jabatan menjadi ketua umum partai di daerah. Ini menunjukkan bahwa kita hari ini tidak siap berdemokrasi dengan menanggalkan baju partai untuk lebih fokus dalam berkuasa atau menjadi wakil rakyat di parlemen daerah. Ini realitas sosial yang sudah objektif terlihat dalam wajah perpolitikan kita hari ini. entah kenapa mereka justru anomaly demokrasi hari ini tidak menunjukkan kualitas demokrasi yang semakin substansial. Seharusnya memberikan pendidikan politik yang sehat dan cerdas, dan tidak memberikan persepsi negative kepada public. memang dalam aturan tidak ada yang melarang seorang gubernur, bupati atau wakil rakyat untuk rangkap jabatan, tetapi etika politik justru dilanggarnya. Apalagi dalam melakukan pengabdian kepada rakyat tentu akan terjadi konflik kepentingan dalam mendahulukan prioritasnya. Ini seharusnya cepat direspon oleh rakyat, karena akan menganggu pemimpin dalam pengabdiannya kepada masyarakat.
            Dalam demokrasi yang serba terbuka saat ini, public juga harus memberikan perhatian serius dalam masalah seperti ini, karena modus-modus yang dilakukan oleh para penguasa yang rangkap jabatan dalam politik, tentu akan memberikan juga perhatiannya dalam sebuah partai politik. Apalagi partai politik harus digerakkan dengan sumber finansial yang tidak kecil, sehingga disitulah public harus mencermati dan mengkritik agar penguasa atau pemimpin tidak rangkap jabatan dalam politik. Karena budaya rangkap jabatan masih menjadi suatu hal yang lumrah terjadi di pusat dan didaerah hari ini. padahal tugas seorang penguasa sudah cukup berat sehari-hari, mesti dihadapkan lagi dengan tugasnya sebagai ketum partai politik didaerah. walaupun bisa saja dilakukan seiring sejalan.
            Dalam analisis fungsional Parsonian, tentu saja fenomena rangkap jabatan ini bisa di lihat dari persyaratan fungsional dalam sebuah system sosial yaitu bagaimana adaptif, goal atau tujuan, integrasi dan laten maintenance. Dari analisis adaptif seharusnya pejabat politik yang jadi gubernur atau bupati dan walikota yang rangkap jabatan mestinya harus mampu secara realitas menyesuaikan kebutuhan sosok pemimpin yang merakyat. Karena kalau rangkap jabatan berarti tidak mampu melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan pemimpin yang merakyat dan total memikirkan kesejahteraan rakyat. kita butuh pemimpin yang mampu menderita ditengah-tengah rakyat untuk bersama-sama bekerja dengan rakyat. disitulah urgensinya bagaimana seorang pemimpin yang tidak konflik kepentingan dengan partai politik, tetapi lebih fokus mengurus rakyat. adaptasi juga dibutuhkan seorang pemimpin yang fokus memikirkan bagaimana pembangunan ekonomi dijalankan dengan tetap memperhatikan secara merata. Penguasa harus fokus mengeluarkan masyarakat dari belenggu kemiskinan dengan solusi pemberdayaan di masyarakat. pemberdayaan masyarakat juga berusaha untuk meminimalisasikan masyarakat dari kemiskinan structural, akibat dominasi dalam bidang ekonomi segelintir elit. Penguasa yang tidak mampu melakukan produktivitas dalam bidang ekonomi, akhirnya menjadikan masyarakat semakin konsumtif dan konsumerisme. Ini juga akibat rangkap jabatan yang tidak fokus untuk melakukan pembaharuan dalam sector ekonomi dan terlalu bergantung kepada APBD di daerah. Apalagi menjelang semakin dekatnya pemilihannya, semakin kuat kepentingan politik itu terjadi. Syahwat politik dinampakkan dengan tetap mempertahankan diri sebagai petahana yang akan mencalonkan lagi. Penyebab semakin seringnya rangkap jabatan yang dilakukan oleh pejabat politik salahsatunya adalah agar tetap tidak diganggu pada saat mencalonkan kembali menjadi pemimpin. Sehingga modus pembangunan ekonomi selalu terselip adanya kampanye politik yang dilakukan oleh penguasa dan selalu melakukan pencitraan politik.
            Kemudian dalam analisis fungsional, rangkap jabatan akan mengganggu pemimpin dalam mewujudkan kepentingan masyarakat secara total. Karena tujuan menjadi pemimpin atau penguasa tetap harus mensejahterakan masyarakat dan berkeadilan. Fenomena rangkap jabatan di dalam setiap pemerintahan akan membuat birokrasi terpengaruh dengan symbol-simbol partai politik yang dipimpinnya. Misalnya warna partai dijadikan simbolisasi dalam setiap ada acara-acara pemerintahan.kemudian bisa saja warna kantor dirubah dengan warna partai yang dipimpinnya. Padahal seorang pemimpin harus mampu mendorong birokrat melakukan reformasi dalam bidang pelayanannya ,Agar tidak mengecewakan masyarakat. rangkap jabatan kelihatannya tidak memberikan wujud yang etis dalam public. di satu sisi sebagai ketua umum partai politik didaerah yang tujuannya kepentingan pragmatis dan bagaimana menggerakkannya. Disisi lain sebagai gubernur atau bupati dan walikota menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat. bagaimana mau menjalankan mandate rakyat dalam pemerintahan, kalau dalam partai politik juga menerima mandat untuk menggerakkan partai politik, tentu saja akan mengganggu mandat yang diberikan oleh rakyat.
            Selanjutnya dalam analisis fungsional dari factor integritas atau pembauran dimasyarakat juga akan terganggu dalam rangkap jabatan seorang pemimpin dimasyarakat. rangkap jabatan seorang pemimpin atau penguasa justru banyak dikelilingi oleh para elit politik yang dipimpinnya. Terkadang para elit partai politik yang mengelili penguasa juga bisa menjadi sengkuni atau pembisik dalam menentukan kebijakan ekonomi dan politik di pemerintahan. Padahal mandate diberikan oleh masyarakat, seharusnya pemimpin atau penguasa didaerah harus mempunyai kaca mata public dalam setiap membuat kebijakan public. bukan meninggalkan masyarakat dan berkolaborasi atau integrasi dengan para elit ekonomi dan politik. Padahal setiap pilkada berlangsung calon penguasa selalu mendekat dan berbaur atau berintegrasi dengan masyarakat, karena ingin merebut hati masyarakat dan terpilih sebagai pemimpin. Setelah itu masyarakat ditinggalkan, bahkan tidak mau melakukan konsultasi public dalam setiap membuat program pembangunan. Walaupun ada juga dilakukan musyawarah pembangunan dengan masyarakat, tetapi tetap kepentingan politik tetap besar pengaruhnya. Penguasa selalu dekat dengan para elit ekonomi, bahkan sering kawin kepentingan yang merugikan masyarakat. misalnya memberikan izin untuk pasar modern yang justru akan memarginalkan pasar tradisional, jelas sekali ini tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat secara umum. Padahal seharusnya penguasa yang mendapat mandat sah dari masyarakat, berpikir dan bertindak bagaimana memperbaharui pasar-pasar tradisional sehingga lebih bersaing dengan pasar modern seperti malldisasi. Tetapi karena masih berpikir aji mumpung, dan menguntungkan secara finansial dan kurang memikirkan rakyat, akhirnya berdiri juga mall atau pasar modern tersebut.
            Dalam analisis fungsional selanjutnya ada variable laten maintenance, atau pola rangkap jabatan tetap akan membuat adaftasi, tujuan dan integrasi akan selalu terganggu dalam melakukan pengabdiannya. Pola rangkap jabatan secara etika politik tetap tidak patut, karena dalam demokrasi substansial harusnya elegan secara total melakukan pengabdian kepada masyarakat. dengan konflik kepentingan dalam rangkap jabatan akan membuat pola seperti itu menjadi fakta sosial dalam system politik saat ini. sudah seharusnyalah pola rangkap jabatan harus dilarang dan dipertegas dengan regulasi dalam undang-undang partai politik, supaya dalam pemerintahannya seorang penguasa akan leluasa mengabdi kepada rakyat dan tidak konflik kepentingan.

No comments:

Post a Comment