Tuesday 23 August 2016

Fenomena Jual Beli Suara dalam Demokrasi electoral Oleh : Suyito, S.Sos. M.Si Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang.





          Fenomena jual beli suara dalam demokrasi electoral di pilkada serentak memang sangat politis sifatnya. Setelah melewati pilkada serentak kemaren fenomena jual beli suara atau politik uang menjadi variable dominan dalam kontestasi demokrasi electoral. Menurut Luki Jani dalam peran uang dalam demokrasi electoral (2014:106) mengatakan politik uang atau jual beli suara dapat menjadi  batu sandungan bagi proses demokratisasi Indonesia, dan transaksi jual beli suara politikus dan pemilih merupakan pengeluaran politik yang sulit dihindarkan. Menurut Komarudin Hidayat (pramono:296)  yang perlu dicermati dan dikritisi adalah motivasi seseorang menjadi kepala daerah dan  legislator dengan mengantongi motif dan kalkulasi keuntungan ekonomi. Kemudian dalam desertasi Pramono anung (2014) mahalnya biaya politik merupakan salah satu bentuk penyimpangan atas demokrasi karena demokrasi cenderung dikonotasikan dengan uang. Ini merupakan pemahaman demokrasi yang tidak on the track, sehingga penataan ulang demokrasi menjadi penting dilakukan.
          Dengan mahalnya biaya politik uang, akhirnya politik uang atau jual beli suara menjadi variable determinan dalam demokrasi kita, seperti juga pendapat J. Kristiadi dalam Desertasi Pramono Anung (2014) mengatakan bagaimana kita mampu menggeser variable politik uang tidak menjadi variable determinan dalam demokrasi kita, khususnya dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislator. Tetapi kondisi riel dimasyarakat terjadi korupsi pemilu akan membuat rapuh dalam proses legitimasi seorang penguasa, seperti yang diutarakan Jani dalam merancang arah baru demokrasi (2014) korupsi pemilu terutama jual beli suara atau politik uang akan menurunkan legitimasi pemerintahan.
          Kemudian dalam Teori system Parson dengan adaptif, goal, integrasi dan laten maintenance. Memberikan analisa bahwa fenomena jual beli suara atau politik uang dalam pilkada serentak kemaren jangan menjadikan sebuah kebiasaan dimasyarakat, karena justru akan membuat budaya politik dimasyarakat tidak sehat dan cenderung lebih pragmatis. Calon kepala daerah dan calon legislator seharusnya membangun system politik yang sehat dan kuat dimasyarakat, tetapi justru terbalik kondisinya dimasyarakat semakin maraknya jual beli suara dalam masyarakat. sehingga setelah terpilih menjadi kepala daerah dan legislator justru akan mengurangi legitimasi dalam demokrasi electoral. Karena tujuan dalam demokrasi electoral adalah memberikan dominasi masyarakat untuk menentukan pemimpin dan wakilnya. Tentu saja kedaulatan rakyat harus menjadi variable utama dalam pilkada serentak tersebut. Tetapi kalau fenomena jual beli suara semakin marak justru kedaulatan masyarakat dalam demokrasi terciderai juga oleh calon penguasa yang persepsinya selalu uang dalam menentukan kemenangannya.
          Integrasi atau pembauran calon penguasa atau kepala daerah dan calon legislator kepada masyarakat akhirnya hanya dibangun dengan hubungan politik uang, setelah terpilih kemudian akan meninggalkan masyarakat. ini merupakan preseden politik yang kurang sehat dan tidak mendidik masyarakat. apalagi menjadi sebuah pola atau bentuk dalam setiap pilkada serentak dilakukan.
          Kemudian kalau dianalisa dalam Sistem sosial dan system budaya, setidaknya seorang pemimpin politik harus bisa mendidik para kader politik untuk mengharamkan jual beli suara atau politik uang, karena justru akan membuat kehilangan kepercayaan public terhadap partai politik. Kita juga harus realistic partai politik harus bisa meningkatkan profesionalitas para kadernya. Tetapi kalau calon kepala daereah justru tidak memberikan larangan untuk jual beli suara dalam pilkada kemaren, akhirnya system sosial masyarakat terganggu akibat tidak ada keteladanan seorang calon pemimpin dan calon legislator dalam pilkada serentak. Dalam system budaya justru fenomena jual beli suara atau politik uang akan mensosialisasi nilai-nilai politik yang melanggar etika politik dan buruknya pembelajaran politik untuk masyarakat. akibatnya nilai-nilai poltik uang menjadi pelembagaan yang menunjukkan kualitas demokrasi yang tidak sehat. Internalisasi politik uang menjadikan masyarakat semakin pragmatis dalam setiap momentum pilkada dilakukan.
          Dalam analisa dramaturgi politik, jual beli suara atau politik uang akan memberikan citra buruk terhadap calon kepala daerah dan legislator pada panggung depan dimasyarakat. karena masyarakat hanya dikendalikan dalam cerminan sosial interaksi sosial politik yang serba pragmatis. Dengan realitas fenomena politik uang yang semakin marak dalam pilkada serentak, mestinya harus diatasi dengan membangun system yang mampu kompetisi politik lebih adil, dana partai politik transparan, akuntabel dan ada sanksi yang jelas bagi siapapun yang melakukan pelanggaran dalam pilkada serentak.

No comments:

Post a Comment