Fenomena
jual beli suara dalam demokrasi electoral di pilkada serentak memang sangat
politis sifatnya. Setelah melewati pilkada serentak kemaren fenomena jual beli
suara atau politik uang menjadi variable dominan dalam kontestasi demokrasi electoral.
Menurut Luki Jani dalam peran uang dalam demokrasi electoral (2014:106)
mengatakan politik uang atau jual beli suara dapat menjadi batu sandungan bagi proses demokratisasi Indonesia,
dan transaksi jual beli suara politikus dan pemilih merupakan pengeluaran
politik yang sulit dihindarkan. Menurut Komarudin Hidayat (pramono:296) yang perlu dicermati dan dikritisi adalah
motivasi seseorang menjadi kepala daerah dan legislator dengan mengantongi motif dan
kalkulasi keuntungan ekonomi. Kemudian dalam desertasi Pramono anung (2014)
mahalnya biaya politik merupakan salah satu bentuk penyimpangan atas demokrasi
karena demokrasi cenderung dikonotasikan dengan uang. Ini merupakan pemahaman
demokrasi yang tidak on the track, sehingga penataan ulang demokrasi menjadi
penting dilakukan.
Dengan
mahalnya biaya politik uang, akhirnya politik uang atau jual beli suara menjadi
variable determinan dalam demokrasi kita, seperti juga pendapat J. Kristiadi
dalam Desertasi Pramono Anung (2014) mengatakan bagaimana kita mampu menggeser variable
politik uang tidak menjadi variable determinan dalam demokrasi kita, khususnya
dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislator. Tetapi kondisi riel
dimasyarakat terjadi korupsi pemilu akan membuat rapuh dalam proses legitimasi
seorang penguasa, seperti yang diutarakan Jani dalam merancang arah baru demokrasi
(2014) korupsi pemilu terutama jual beli suara atau politik uang akan
menurunkan legitimasi pemerintahan.
Kemudian
dalam Teori system Parson dengan adaptif, goal, integrasi dan laten
maintenance. Memberikan analisa bahwa fenomena jual beli suara atau politik
uang dalam pilkada serentak kemaren jangan menjadikan sebuah kebiasaan dimasyarakat,
karena justru akan membuat budaya politik dimasyarakat tidak sehat dan
cenderung lebih pragmatis. Calon kepala daerah dan calon legislator seharusnya
membangun system politik yang sehat dan kuat dimasyarakat, tetapi justru
terbalik kondisinya dimasyarakat semakin maraknya jual beli suara dalam
masyarakat. sehingga setelah terpilih menjadi kepala daerah dan legislator
justru akan mengurangi legitimasi dalam demokrasi electoral. Karena tujuan
dalam demokrasi electoral adalah memberikan dominasi masyarakat untuk
menentukan pemimpin dan wakilnya. Tentu saja kedaulatan rakyat harus menjadi variable
utama dalam pilkada serentak tersebut. Tetapi kalau fenomena jual beli suara
semakin marak justru kedaulatan masyarakat dalam demokrasi terciderai juga oleh
calon penguasa yang persepsinya selalu uang dalam menentukan kemenangannya.
Integrasi
atau pembauran calon penguasa atau kepala daerah dan calon legislator kepada
masyarakat akhirnya hanya dibangun dengan hubungan politik uang, setelah
terpilih kemudian akan meninggalkan masyarakat. ini merupakan preseden politik
yang kurang sehat dan tidak mendidik masyarakat. apalagi menjadi sebuah pola
atau bentuk dalam setiap pilkada serentak dilakukan.
Kemudian
kalau dianalisa dalam Sistem sosial dan system budaya, setidaknya seorang
pemimpin politik harus bisa mendidik para kader politik untuk mengharamkan jual
beli suara atau politik uang, karena justru akan membuat kehilangan kepercayaan
public terhadap partai politik. Kita juga harus realistic partai politik harus
bisa meningkatkan profesionalitas para kadernya. Tetapi kalau calon kepala
daereah justru tidak memberikan larangan untuk jual beli suara dalam pilkada
kemaren, akhirnya system sosial masyarakat terganggu akibat tidak ada
keteladanan seorang calon pemimpin dan calon legislator dalam pilkada serentak.
Dalam system budaya justru fenomena jual beli suara atau politik uang akan
mensosialisasi nilai-nilai politik yang melanggar etika politik dan buruknya
pembelajaran politik untuk masyarakat. akibatnya nilai-nilai poltik uang
menjadi pelembagaan yang menunjukkan kualitas demokrasi yang tidak sehat. Internalisasi
politik uang menjadikan masyarakat semakin pragmatis dalam setiap momentum
pilkada dilakukan.
Dalam
analisa dramaturgi politik, jual beli suara atau politik uang akan memberikan
citra buruk terhadap calon kepala daerah dan legislator pada panggung depan
dimasyarakat. karena masyarakat hanya dikendalikan dalam cerminan sosial
interaksi sosial politik yang serba pragmatis. Dengan realitas fenomena politik
uang yang semakin marak dalam pilkada serentak, mestinya harus diatasi dengan
membangun system yang mampu kompetisi politik lebih adil, dana partai politik
transparan, akuntabel dan ada sanksi yang jelas bagi siapapun yang melakukan
pelanggaran dalam pilkada serentak.
No comments:
Post a Comment