Secara
filosophis wacana pembangunan partisipatif dianggap menjadi panacea baru dan alternative pembangunan
yang kuat ditawarkan seiring dengan bergulirnya proses perubahan politik di indonesia.
namun hingga saat ini tidak banyak yang mencoba merefleksikan kembali ide-ide
tersebut untuk menemukan peluang dan keterbatasan dengan belajar dari
pengalaman yang ada (Hanif,2008:xiii).
Pada saat yang sama, kajian-kajian tentang politik local di ranah pesisir tidak
banyak mewarnai kajian politik di Indonesia. padahal sebagai wilayah negara
kepulauan, pesisir tentu saja telah memberikan warna tersendiri dalam dinamika
politik di Indonesia. pesisir dalam kajian ini dipahami bukan sekedar ruang
politik tetapi juga diartikan sebagai struktur dan kultur politik tersendiri
yang mempengaruhi praksis sosial dan aktivitas kolektif masyarakat.
Berbagai
kajian mengenai partisipatif dalam pembangunan menurut Rohmad (2016:120) sering
menunjuk belum adanya atau tidak seragamnya pengertian mengenai partisipasi
masyarakat yang akan berdampak terhadap implementasinya. Pengertian partisipasi
masyarakat bisa terentang lebar mulai dari keterlibatan (bukan keikutsertaan)
masyarakat dalam semua tahap (sejak perencanaan sampai evaluasi dan perencanaan
kembali, bukan sebagian atau hanya pada tahap tertentu) proses pembangunan
masyarakat, sampai keikutsertaan masyarakat pada bagian kecil proses
pembangunan yang telah ditentukan tujuan, arah, dan sasarannya oleh perencana
pembangunan.
Sementara
itu hakikat pembangunan sering telah semakin berkembang sebagai terjemahan dari
berbagai istilah asing, sehingga terkadang mengandung kerancuan pengertian. Pembangunan,
dalam kehidupan sehari-hari, dapat digunakan sebagai terjemahan atau padanan
istilah: development, growth and change,
modernization, atau bahkan juga progress
dalam Raharjo (Theresia dkk:2014). Karena
itu kian menjadi sangat sulit untuk mendefinisikan pembangunan dalam suatu
rumusan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan,
harapan-harapan, atau fungsi yang sangat beragam yang melekat pada istilah
pembangunan itu. sebab pembangunan mencakup banyak makna, baik fisik maupun
nonfisik, baik proses maupun tujuannya, baik yang duniawi maupun rohaniah.
Dalam
paradigm pembangunan yang sangat structural menurut Irwan Abdullah (2009:2)
subjek mengalami situasi pengeliminasian dari wilayah-wilayah kekuasaan, social
struggle dan dari kontestasi dalam wacana. Subjek dimatikan dan mengalami
pembunuhan oleh struktur yang mengatasnamakan objektivitas akademik. Ini juga
akibat dari rezim orde baru yang sangat kuat melakukan konsolidasi politik
developmentalisme dan korporatisasi representasi politik diranah local dimana
demokrasi dipasung. Hal ini penting untuk dikemukakan untuk menjelaskan
perubahan politik pembangunan di Indonesia yang kemudian menjadi setting makro
dan tinjauan umum bagi perjalanan dan pergeseran watak rezim developmentalisme
di Indonesia (Hanif:2008).
Secara
sosiologis wilayah perbatasan menurut Harmen Batubara (2015:30) merupakan pintu
gerbang internasional dan beranda depan Negara Indonesia. kenyataan inilah yang
harus dibangun oleh pemerintah, yakni bagaimana menghilangkan kesan daerah
tertinggal, serta kesenjangan antara perbatasan dan wilayah non perbatasan
dapat diminimalkan. Problematic di wilayah perbatasan menurut Batubara(2015)
adalah pemukiman penduduk yang jarang dan tidak terdistribusi merata, kualitas relative
rendah, angka kematian tinggi, partisipatif masyarakat yang rendah, kemudian
belum terkelolanya sumber daya alam yang baik.
Urgensi dari tulisan ini adalah ingin
melihat secara konseptual bagaimana membangun partisipatif masyarakat
diperbatasan sehingga tidak menjadi penonton saja. walaupun dalam prakteknya
masih juga begitu kental aroma pembangunan partisipatif masyarakat cenderung Top Down. Mestinya sudah mengalami paradigm
pembangunan selaras dengan berubahnya struktur pemerintahan yang senralistis
menjadi desentralistis. Istilah Bottom Up
atau pembangunan dari bawah atau masyarakat harus diutamakan sehingga
masyarakat tidak menjadi penonton dan objek pembangunan.
Pendekatan
Pembangunan Bottom-Up di Masyarakat Perbatasan.
menurut
Adisasmita (2013:96-97) pembangunan pada masa lalu (katakanlah pada masa orde
baru) menggunakan pendekatan top-down (dari
atas ke bawah). Perencanaan pembangunan terpusat sering kali tidak sesuai
dengan kebutuhan pada masyarakat yang ada diperbatasan yang dikelilingi lautan.
Sehingga perlu road-map Pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat perbatasan.
Banyak contoh kegagalan pendekatan pembangunan top-down, yang tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. sehingga terjadi pemborosan pembiayaan pembangunan
yang terjadi, sehingga boleh dikatakan pendekatan pembangunan top-down lebih banyak kelemahannya
dibandingkan kemanfaatannya. Kemudian menurut Theresia dkk (2014:29)
pembangunan dari atas (top down) selalu menempatkan pemerintah pusat atau elit
masyarakat sebagai pencetus gagasan, dengan asumsi mereka tahu yang terbaik
bagi masyarakatnya, tanpa harus mendengarkan atau mengakomodasi aspirasi
masyarakat (bawah). Sebaliknya pembangunan dari bawah (bottom-up) memberikan kesempatan kepada masyarakat bawah untuk
berinisiatif sejak perencanaan, dengan asumsi bahwa masyarakat memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasikan masalah, kebutuhan, serta cara-cara terbaik
yang cocok dengan kondisi mereka diperbatasan atau dimanapun masyarakat berada.
Pembangunan dari bawah (Bottom-Up) didaerah perbatasan akan
mampu mengembangkan partisipasi masyarakat dengan inisiatif sejal dari
perencanaan, mengidentifikasikan masalah dan membuat aksi program sesuai dengan
kondisi masyarakat diperbatasan, tentu saja pemerintah harus menyiapkan
pendamping sosial atau program pemerintah sekarang dinamakan sarjana penggerak
pedesaan. Bisa saja ditempatkan para sarjana penggerak pedesaan untuk bisa
mendampingi masyarakat di daerah perbatasan untuk bergerak maju dalam pembangunan
dari masyarakat itu sendiri, sehingga akan menggerakkan partisipatif masyarakat
didaerah perbatasan.
Kemudian menurut Theresia dkk dalam
Rubin,Billup, Midgley dan david (2014:30) model pembangunan dari bawah
merupakan strategi pembangunan sosial yang meliputi:
a. Mengembangkan
partisipasi masyarakat yang komprehensif
b. Pengembangan
memotivasi masyarakat local
c. Perluasan
kesempatan belajar
d. Peningkatan
pengelolaan sumber daya local
e. Reflikasi
pembangunan manusia
f. Peningkatan
komunikasi dan pertukaran
g. Lokalisasi
akses ruangan.
Model
diatas bisa dikembangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan pembangunan dari
bawah dimana masyarakat didaerah perbatasan mempunyak karakteristik dan potensi
sumber daya alam lokalnya.
Banyak
alternative metode partisipatif untuk pengembangan masyarakat didaerah
perbatasan, salah satunya menggunakan metode PRA atau Partisipatori Rural
Appraisal. Dengan indikatornya adalah mengupas sejarah masyarakat diperbatasan,
membuat kalender musim dimasyarakat perbatasan, transek dimasyarakat perbatasan
atau menelusuri potensi daerah perbatasan, kemudian melakukan perengkingan
masalah-masalah dimasyarakat perbatasan dan akhirnya membuat program berbasis
masalah-masalah dimasyarakat perbatasan.
REFERENSI
1. Rohmad,2016.
Sosiologi Pembangunan. Yogyakarta:Penerbit
Ombak
2. Nasdian,2014.
Pengembangan Masyarakat.Jakarta:Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
3. Theresia
dkk, 2014. Pembangunan Berbasis
Masyarakat. Bandung: Penerbit Alfabeta
4. Adisasmita,
2013. Pembangunan Ekonomi Maritim.Yogyakarta:
Graha Ilmu.
5. Hanif,
2008. Mengembalikan Daulat Warga Pesisir.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
6. Batubara,
2015. Wilayah Perbatasan Tertinggal dan
Terlantarkan. Copyright@2015 by Harmen Batubara.
5876F178
ReplyDelete