Tuesday 10 January 2017

Pembangunan Bottom-Up Masyarakat Perbatasan Oleh: Suyito Staff Pengajar Stisipol Raja Haji.



Secara filosophis wacana pembangunan partisipatif dianggap menjadi panacea baru dan alternative pembangunan yang kuat ditawarkan seiring dengan bergulirnya proses perubahan politik di indonesia. namun hingga saat ini tidak banyak yang mencoba merefleksikan kembali ide-ide tersebut untuk menemukan peluang dan keterbatasan dengan belajar dari pengalaman yang ada (Hanif,2008:xiii). Pada saat yang sama, kajian-kajian tentang politik local di ranah pesisir tidak banyak mewarnai kajian politik di Indonesia. padahal sebagai wilayah negara kepulauan, pesisir tentu saja telah memberikan warna tersendiri dalam dinamika politik di Indonesia. pesisir dalam kajian ini dipahami bukan sekedar ruang politik tetapi juga diartikan sebagai struktur dan kultur politik tersendiri yang mempengaruhi praksis sosial dan aktivitas kolektif masyarakat.
Berbagai kajian mengenai partisipatif dalam pembangunan menurut Rohmad (2016:120) sering menunjuk belum adanya atau tidak seragamnya pengertian mengenai partisipasi masyarakat yang akan berdampak terhadap implementasinya. Pengertian partisipasi masyarakat bisa terentang lebar mulai dari keterlibatan (bukan keikutsertaan) masyarakat dalam semua tahap (sejak perencanaan sampai evaluasi dan perencanaan kembali, bukan sebagian atau hanya pada tahap tertentu) proses pembangunan masyarakat, sampai keikutsertaan masyarakat pada bagian kecil proses pembangunan yang telah ditentukan tujuan, arah, dan sasarannya oleh perencana pembangunan.
Sementara itu hakikat pembangunan sering telah semakin berkembang sebagai terjemahan dari berbagai istilah asing, sehingga terkadang mengandung kerancuan pengertian. Pembangunan, dalam kehidupan sehari-hari, dapat digunakan sebagai terjemahan atau padanan istilah: development, growth and change, modernization, atau bahkan juga progress dalam Raharjo (Theresia dkk:2014). Karena itu kian menjadi sangat sulit untuk mendefinisikan pembangunan dalam suatu rumusan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan, atau fungsi yang sangat beragam yang melekat pada istilah pembangunan itu. sebab pembangunan mencakup banyak makna, baik fisik maupun nonfisik, baik proses maupun tujuannya, baik yang duniawi maupun rohaniah.
Dalam paradigm pembangunan yang sangat structural menurut Irwan Abdullah (2009:2) subjek mengalami situasi pengeliminasian dari wilayah-wilayah kekuasaan, social struggle dan dari kontestasi dalam wacana. Subjek dimatikan dan mengalami pembunuhan oleh struktur yang mengatasnamakan objektivitas akademik. Ini juga akibat dari rezim orde baru yang sangat kuat melakukan konsolidasi politik developmentalisme dan korporatisasi representasi politik diranah local dimana demokrasi dipasung. Hal ini penting untuk dikemukakan untuk menjelaskan perubahan politik pembangunan di Indonesia yang kemudian menjadi setting makro dan tinjauan umum bagi perjalanan dan pergeseran watak rezim developmentalisme di Indonesia (Hanif:2008).
Secara sosiologis wilayah perbatasan menurut Harmen Batubara (2015:30) merupakan pintu gerbang internasional dan beranda depan Negara Indonesia. kenyataan inilah yang harus dibangun oleh pemerintah, yakni bagaimana menghilangkan kesan daerah tertinggal, serta kesenjangan antara perbatasan dan wilayah non perbatasan dapat diminimalkan. Problematic di wilayah perbatasan menurut Batubara(2015) adalah pemukiman penduduk yang jarang dan tidak terdistribusi merata, kualitas relative rendah, angka kematian tinggi, partisipatif masyarakat yang rendah, kemudian belum terkelolanya sumber daya alam yang baik.
          Urgensi dari tulisan ini adalah ingin melihat secara konseptual bagaimana membangun partisipatif masyarakat diperbatasan sehingga tidak menjadi penonton saja. walaupun dalam prakteknya masih juga begitu kental aroma pembangunan partisipatif masyarakat cenderung Top Down. Mestinya sudah mengalami paradigm pembangunan selaras dengan berubahnya struktur pemerintahan yang senralistis menjadi desentralistis. Istilah Bottom Up atau pembangunan dari bawah atau masyarakat harus diutamakan sehingga masyarakat tidak menjadi penonton dan objek pembangunan.
Pendekatan Pembangunan Bottom-Up di Masyarakat Perbatasan.
          menurut Adisasmita (2013:96-97) pembangunan pada masa lalu (katakanlah pada masa orde baru) menggunakan pendekatan top-down (dari atas ke bawah). Perencanaan pembangunan terpusat sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan pada masyarakat yang ada diperbatasan yang dikelilingi lautan. Sehingga perlu road-map Pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat perbatasan. Banyak contoh kegagalan pendekatan pembangunan top-down, yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. sehingga terjadi pemborosan pembiayaan pembangunan yang terjadi, sehingga boleh dikatakan pendekatan pembangunan top-down lebih banyak kelemahannya dibandingkan kemanfaatannya. Kemudian menurut Theresia dkk (2014:29) pembangunan dari atas (top down) selalu menempatkan pemerintah pusat atau elit masyarakat sebagai pencetus gagasan, dengan asumsi mereka tahu yang terbaik bagi masyarakatnya, tanpa harus mendengarkan atau mengakomodasi aspirasi masyarakat (bawah). Sebaliknya pembangunan dari bawah (bottom-up) memberikan kesempatan kepada masyarakat bawah untuk berinisiatif sejak perencanaan, dengan asumsi bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan masalah, kebutuhan, serta cara-cara terbaik yang cocok dengan kondisi mereka diperbatasan atau dimanapun masyarakat berada.
          Pembangunan dari bawah (Bottom-Up) didaerah perbatasan akan mampu mengembangkan partisipasi masyarakat dengan inisiatif sejal dari perencanaan, mengidentifikasikan masalah dan membuat aksi program sesuai dengan kondisi masyarakat diperbatasan, tentu saja pemerintah harus menyiapkan pendamping sosial atau program pemerintah sekarang dinamakan sarjana penggerak pedesaan. Bisa saja ditempatkan para sarjana penggerak pedesaan untuk bisa mendampingi masyarakat di daerah perbatasan untuk bergerak maju dalam pembangunan dari masyarakat itu sendiri, sehingga akan menggerakkan partisipatif masyarakat didaerah perbatasan.
          Kemudian menurut Theresia dkk dalam Rubin,Billup, Midgley dan david (2014:30) model pembangunan dari bawah merupakan strategi pembangunan sosial yang meliputi:
a.     Mengembangkan partisipasi masyarakat yang komprehensif
b.     Pengembangan memotivasi masyarakat local
c.      Perluasan kesempatan belajar
d.     Peningkatan pengelolaan sumber daya local
e.      Reflikasi pembangunan manusia
f.       Peningkatan komunikasi dan pertukaran
g.     Lokalisasi akses ruangan.
Model diatas bisa dikembangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan pembangunan dari bawah dimana masyarakat didaerah perbatasan mempunyak karakteristik dan potensi sumber daya alam lokalnya.
Banyak alternative metode partisipatif untuk pengembangan masyarakat didaerah perbatasan, salah satunya menggunakan metode PRA atau Partisipatori Rural Appraisal. Dengan indikatornya adalah mengupas sejarah masyarakat diperbatasan, membuat kalender musim dimasyarakat perbatasan, transek dimasyarakat perbatasan atau menelusuri potensi daerah perbatasan, kemudian melakukan perengkingan masalah-masalah dimasyarakat perbatasan dan akhirnya membuat program berbasis masalah-masalah dimasyarakat perbatasan.


REFERENSI
1.     Rohmad,2016. Sosiologi Pembangunan. Yogyakarta:Penerbit Ombak
2.     Nasdian,2014. Pengembangan Masyarakat.Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia
3.     Theresia dkk, 2014. Pembangunan Berbasis Masyarakat. Bandung: Penerbit Alfabeta
4.     Adisasmita, 2013. Pembangunan Ekonomi Maritim.Yogyakarta: Graha Ilmu.
5.     Hanif, 2008. Mengembalikan Daulat Warga Pesisir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
6.     Batubara, 2015. Wilayah Perbatasan Tertinggal dan Terlantarkan. Copyright@2015 by Harmen Batubara.
         

1 comment: