Secara filosopis pentingnya pembangunan
diperbatasan dengan berbasis kebudayaan adalah untuk menyamakan frekuensi
sosial dimasyarakat dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Pembangunan wilayah perbatasan harus segera dilakukan karena sebagai beranda
depan dan langsung berbatasan dengan dunia internasional. Dari 12 belas prinsip
asas pembangunan yang harus dilakukan, salah satunya menurut Zaini
Rohmad(2016:10-11) prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang harus diprioritaskan
pada setiap program pembangunan adalah nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena
itu, manusia adalah inti dan pelakunya serta penikmat dari program pembangunan.
Dengan berpedoman pada nilai tersebut, diharapkan pembangunan dapat lebih
menjamin hak azazi manusia (HAM) sehingga akhirnya akan terwujud masyarakat
madani.
Prinsip
Budaya sosial menurut Rohmad (2016:12) adalah sebagai totalitas nilai dan tata
kelaku manusia yang harus mampu mewujudkan pandangan hidup dan falsafah negara pancasila ke dalam segala
segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas yang melandasi pola piker, pola
tindak, struktur, dan proses system sosial budaya Indonesia yang diimplementasikan
haruslah merupakan perwujudan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, transformasi serta pembinaan system sosial budaya harus tetap berkarakter
dan berkepribadian Indonesia.
Dari
penjelasan diatas ternyata pembangunan masyarakat perbatasan dengan basis
kebudayaan tentu saja sangat urgensi sekali dilakukan, karena setiap masyarakat
punya system nilai yang berbeda-beda, pola tindak dan pola berpikirnya. Jadi
hakekatnya pembangunan perbatasan dengan berbasis kebudayaan harus diupayakan
oleh pemerintah, sehingga tidak memarginalkan budaya-budaya yang telah
berkembang lama yang ada didalam masyarakat.
Secara
konseptualisasi terkait dengan pembangunan Riyadi dalam Theresia
dkk(2014:60-61) menjelaskan suatu usaha atau proses perubahan, demi tercapainya
tingkat kesejahteraan atau mutu-hidup suatu masyarakat (dan individu-individu
didalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan pembangunan itu. kemudian menurut
pandangan Mansour Fakih dalam Rahmad(2016:38) umumnya orang beranggapan bahwa
pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya untuk menjelaskan proses
dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya insfrastruktur
masyarakat dan sebagainya.
Terkait
dengan pembangunan berbasis kebudayaaan Haryanto dalam Theresia dkk (2014:60)
mengartikan bukan hanya sekedar tertuju pada peningkatan kebudayaan, tetapi
juga dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri perlu mendasarkan diri pada
kebudayaan yang dimiliki. Khususnya menyangkut system nilai, sikap, dan
adat-istiadat.
Kemudian
dalam pembangunan perbatasan dengan dasar nilai-nilai kebudayaan masyarakat
adalah mengharuskan pemerintah komitmen dengan system nilai yang sangat kuat
berkembang, sikap masyarakat perbatasan dan yang sangat penting adalah
adat-istiadat pada masyarakat perbatasan yang tetap ada.
Menurut
Batubara (2015:4) kawasan perbatasan memiliki potensi besar untuk menjadi pusat
pertumbuhan wilayah. Menurut para ekonom perbatasan setidaknya terdapat dua
kekuatan besar yang bisa disumbangkan oleh kawasan perbatasan terhadap
perekonomian disekitarnya. Pertama, dengan akses perdagangan yang dimiliki,
kawasan perbatasan merupakan pintu masuk barang dan jasa, mengalirnya devisa
kedalam negeri. Kedua, perdagangan yang sehat yang terjadi diperbatasan akan
mendorong tumbuhnya produksi didalam negeri. Tetapi menurut Harmen (2015:31)
aspek pemberdayaan ekonomi dan pendekatan sosial budaya baru sebatas ide dan
belum berjalan sebagaimana mestinya. Selama ini pengembangan perbatasan hanya
dilakukan melalui pertahanan dan pengamanan territorial perbatasan, dan itulah
yang baru bergerak dengan pendekatan pertahanan territorial.
Salah
satu yang jadi titik lemah wilayah perbatasan (Batubara:32) adalah masyarakat
tidak bisa dijadikan sebagai pemilik dan pengelola wilayah produksi. Ini juga
konsekuensi logis dari proses konsolidasi rezim politik orde baru yang sangat
developmentalis dan korporatisasi, sehingga demokrasi dipasung (Santoso,2008:xxxii).
Tetapi menurut Rohmad (2016:30) studi tentang proses perubahan dalam masyarakat
non-barat terpusat pada pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin membedakan
pendekatan ekonomis dan sosiologi sebagai pendekatan sendiri-sendiri.
Pembangunan Perbatasan Berbasis
Kebudayaan.
Tetapi
dalam pembangunan kawasan perbatasan tidak bisa memarginalkan peran modal
budaya (cultural capital) berupa ide,
keyakinan, nilai yang dianut bersama oleh suatu kelompok masyarakat. Menurut
Rohmad dalam (Evans, 2001; Mercer 2006; Jensen 2007) dimana budaya banyak
dianggap berperan sebagai kekuatan local untuk menonjolkan citra dalam
menghadapi isu global. Sehingga dalam prakteknya atau empirisme dimasyarakat
perbatasan budaya menjadi kekuatan untuk menghadang globalisasi yang akan
mencabut modal sosial diperbatasan.
Kemudian
Kaplan dan Manner dalam Rohmad (2016:158) menurutnya studi yang terkait dengan
budaya tidak mengkaji dari definisi budaya melainkan struktur atau system sosial.
System sosial itu sendiri bersifat kompleks yang berasal dari keragaman
pengaruh atau bisa sebagai dampak warisan sehingga system sosial manusia
dianggap sebagai system sosiokultural sejati. Karenanya budaya merupakan unsur
penting dalam membentuk kapasitas masyarakat, singakt kata budaya bukan sebagai
produk berupa symbol atau artefak, melainkan juga nilai-nilai yang melekat
didalamnya. Dalam analisanya dikaitkan dengan wilayah perbatasan tentu saja
budaya sangat kuat membentuk kapasitas masyarakat diperbatasan. kapasitas
masyarakat diperbatasan merupakan elemen penting dalam menggerakkan
perekonomian dimasyarakat tersebut.
Pembangunan
berbasis kebudayaan dimasyarakat perbatasan menjadi penting, karena kebudayaan
yang berkembang saat ini telah banyak meninggalkan kerangka asli kebudayaan local,
seperti pendapat Theresia dkk (2014:61) mengatakan apabila tidak ada upaya
khusus, kebudayaan local tidak bisa lagi menjadi landasan utama pandangan hidup
setiap anggota masyarakat.
Untuk
itulah pembangunan berbasis kebudayaan di masyarakat perbatasan harus diperkuat
sehingga tidak tergerus oleh arus globalisasi sehingga menjadi penyebab
degradasi moral dan degradasi budaya. Pembangunan apapun yang dilakukan oleh
pemerintah tetapi tidak menjadikan budaya dimasyarakat sebagai dasarnya, akan
menyebabkan lunturnya spiritual heritage
yang telah diwariskan nenek moyang, seperti budaya guyub (rukun) dan lain
sebagainya.
Oleh
karena itulah menurut Mardikanto dkk(2014:62-63) perlu pemahaman falsafah
budaya local kesemua golongan secara berkelanjutan. Sehingga dalam pembangunan
masyarakat perbatasan tidak menghilangkan modal budaya yang sudah lama
berkembang dalam masyarakat.
Kesimpulan
Pembangunan
perbatasan berbasis kebudayaan dimasyarakat merupakan pembangunan nilai-nilai
yang melekat dan harus dijadikan dasar dalam membangun di daerah perbatasan. Budaya
local adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau
daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang
berada di tempat lain (Andini dkk 2014). Pembangunan dimsyarakat perbatasan
harus tetap mengacu pada falsafah budaya local, agar bisa meminimalisir
terjadinya konflik dalam masyarakat perbatasan.
REFERENSI:
1.
Theresia dkk, 2014. Pembangunan Berbasis
Masyarakat.
2.
Rohmad, 2016. Sosiologi Pembangunan
3.
Santoso, 2008. Mengembalikan Daulat
Warga Pesisir.
4.
Batubara, 2015. Wilayah Perbatasan
Tertinggal dan Terlantar.
No comments:
Post a Comment