Monday 9 January 2017

Pembangunan Perbatasan Berbasis Budaya Local. Oleh: Suyito, M.Si Staff pengajar di Stisipol Raja Haji.



Secara filosopis pentingnya pembangunan diperbatasan dengan berbasis kebudayaan adalah untuk menyamakan frekuensi sosial dimasyarakat dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pembangunan wilayah perbatasan harus segera dilakukan karena sebagai beranda depan dan langsung berbatasan dengan dunia internasional. Dari 12 belas prinsip asas pembangunan yang harus dilakukan, salah satunya menurut Zaini Rohmad(2016:10-11) prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang harus diprioritaskan pada setiap program pembangunan adalah nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia adalah inti dan pelakunya serta penikmat dari program pembangunan. Dengan berpedoman pada nilai tersebut, diharapkan pembangunan dapat lebih menjamin hak azazi manusia (HAM) sehingga akhirnya akan terwujud masyarakat madani.
          Prinsip Budaya sosial menurut Rohmad (2016:12) adalah sebagai totalitas nilai dan tata kelaku manusia yang harus mampu mewujudkan pandangan hidup  dan falsafah negara pancasila ke dalam segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas yang melandasi pola piker, pola tindak, struktur, dan proses system sosial budaya Indonesia yang diimplementasikan haruslah merupakan perwujudan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, transformasi serta pembinaan system sosial budaya harus tetap berkarakter dan berkepribadian Indonesia.
          Dari penjelasan diatas ternyata pembangunan masyarakat perbatasan dengan basis kebudayaan tentu saja sangat urgensi sekali dilakukan, karena setiap masyarakat punya system nilai yang berbeda-beda, pola tindak dan pola berpikirnya. Jadi hakekatnya pembangunan perbatasan dengan berbasis kebudayaan harus diupayakan oleh pemerintah, sehingga tidak memarginalkan budaya-budaya yang telah berkembang lama yang ada didalam masyarakat.
          Secara konseptualisasi terkait dengan pembangunan Riyadi dalam Theresia dkk(2014:60-61) menjelaskan suatu usaha atau proses perubahan, demi tercapainya tingkat kesejahteraan atau mutu-hidup suatu masyarakat (dan individu-individu didalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan pembangunan itu. kemudian menurut pandangan Mansour Fakih dalam Rahmad(2016:38) umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya insfrastruktur masyarakat dan sebagainya.
          Terkait dengan pembangunan berbasis kebudayaaan Haryanto dalam Theresia dkk (2014:60) mengartikan bukan hanya sekedar tertuju pada peningkatan kebudayaan, tetapi juga dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri perlu mendasarkan diri pada kebudayaan yang dimiliki. Khususnya menyangkut system nilai, sikap, dan adat-istiadat.
          Kemudian dalam pembangunan perbatasan dengan dasar nilai-nilai kebudayaan masyarakat adalah mengharuskan pemerintah komitmen dengan system nilai yang sangat kuat berkembang, sikap masyarakat perbatasan dan yang sangat penting adalah adat-istiadat pada masyarakat perbatasan yang tetap ada.
          Menurut Batubara (2015:4) kawasan perbatasan memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pertumbuhan wilayah. Menurut para ekonom perbatasan setidaknya terdapat dua kekuatan besar yang bisa disumbangkan oleh kawasan perbatasan terhadap perekonomian disekitarnya. Pertama, dengan akses perdagangan yang dimiliki, kawasan perbatasan merupakan pintu masuk barang dan jasa, mengalirnya devisa kedalam negeri. Kedua, perdagangan yang sehat yang terjadi diperbatasan akan mendorong tumbuhnya produksi didalam negeri. Tetapi menurut Harmen (2015:31) aspek pemberdayaan ekonomi dan pendekatan sosial budaya baru sebatas ide dan belum berjalan sebagaimana mestinya. Selama ini pengembangan perbatasan hanya dilakukan melalui pertahanan dan pengamanan territorial perbatasan, dan itulah yang baru bergerak dengan pendekatan pertahanan territorial.
          Salah satu yang jadi titik lemah wilayah perbatasan (Batubara:32) adalah masyarakat tidak bisa dijadikan sebagai pemilik dan pengelola wilayah produksi. Ini juga konsekuensi logis dari proses konsolidasi rezim politik orde baru yang sangat developmentalis dan korporatisasi, sehingga demokrasi dipasung (Santoso,2008:xxxii). Tetapi menurut Rohmad (2016:30) studi tentang proses perubahan dalam masyarakat non-barat terpusat pada pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin membedakan pendekatan ekonomis dan sosiologi sebagai pendekatan sendiri-sendiri. 
Pembangunan Perbatasan Berbasis Kebudayaan.
          Tetapi dalam pembangunan kawasan perbatasan tidak bisa memarginalkan peran modal budaya (cultural capital) berupa ide, keyakinan, nilai yang dianut bersama oleh suatu kelompok masyarakat. Menurut Rohmad dalam (Evans, 2001; Mercer 2006; Jensen 2007) dimana budaya banyak dianggap berperan sebagai kekuatan local untuk menonjolkan citra dalam menghadapi isu global. Sehingga dalam prakteknya atau empirisme dimasyarakat perbatasan budaya menjadi kekuatan untuk menghadang globalisasi yang akan mencabut modal sosial diperbatasan.
          Kemudian Kaplan dan Manner dalam Rohmad (2016:158) menurutnya studi yang terkait dengan budaya tidak mengkaji dari definisi budaya melainkan struktur atau system sosial. System sosial itu sendiri bersifat kompleks yang berasal dari keragaman pengaruh atau bisa sebagai dampak warisan sehingga system sosial manusia dianggap sebagai system sosiokultural sejati. Karenanya budaya merupakan unsur penting dalam membentuk kapasitas masyarakat, singakt kata budaya bukan sebagai produk berupa symbol atau artefak, melainkan juga nilai-nilai yang melekat didalamnya. Dalam analisanya dikaitkan dengan wilayah perbatasan tentu saja budaya sangat kuat membentuk kapasitas masyarakat diperbatasan. kapasitas masyarakat diperbatasan merupakan elemen penting dalam menggerakkan perekonomian dimasyarakat tersebut.
          Pembangunan berbasis kebudayaan dimasyarakat perbatasan menjadi penting, karena kebudayaan yang berkembang saat ini telah banyak meninggalkan kerangka asli kebudayaan local, seperti pendapat Theresia dkk (2014:61) mengatakan apabila tidak ada upaya khusus, kebudayaan local tidak bisa lagi menjadi landasan utama pandangan hidup setiap anggota masyarakat.
          Untuk itulah pembangunan berbasis kebudayaan di masyarakat perbatasan harus diperkuat sehingga tidak tergerus oleh arus globalisasi sehingga menjadi penyebab degradasi moral dan degradasi budaya. Pembangunan apapun yang dilakukan oleh pemerintah tetapi tidak menjadikan budaya dimasyarakat sebagai dasarnya, akan menyebabkan lunturnya spiritual heritage yang telah diwariskan nenek moyang, seperti budaya guyub (rukun) dan lain sebagainya.
          Oleh karena itulah menurut Mardikanto dkk(2014:62-63) perlu pemahaman falsafah budaya local kesemua golongan secara berkelanjutan. Sehingga dalam pembangunan masyarakat perbatasan tidak menghilangkan modal budaya yang sudah lama berkembang dalam masyarakat.
Kesimpulan
          Pembangunan perbatasan berbasis kebudayaan dimasyarakat merupakan pembangunan nilai-nilai yang melekat dan harus dijadikan dasar dalam membangun di daerah perbatasan. Budaya local adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat lain (Andini dkk 2014). Pembangunan dimsyarakat perbatasan harus tetap mengacu pada falsafah budaya local, agar bisa meminimalisir terjadinya konflik dalam masyarakat perbatasan.
REFERENSI:
1.     Theresia dkk, 2014. Pembangunan Berbasis Masyarakat.
2.     Rohmad, 2016. Sosiologi Pembangunan
3.     Santoso, 2008. Mengembalikan Daulat Warga Pesisir.
4.     Batubara, 2015. Wilayah Perbatasan Tertinggal dan Terlantar.

No comments:

Post a Comment