Sunday 8 January 2017

Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Kearifan local Oleh: Suyito Staff Pengajar sosiologi di Stisipol Raja Haji



Pada hakekatnya membangun wilayah perbatasan merupakan sebuah keharusan atau keniscayaan, karena di laut wilayah NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia berbatasan dengan 10 Negara sahabat yaitu India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste dan didarat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu Malaysia, Papua Nugini dan RDTL.(Batubara:2015). Suatu keharusan yang tidak saja hanya secara retorika, tetapi harus ada sinergitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Karena secara idealnya wilayah perbatasan merupakan beranda depan dari sebuah negara Indonesia. untuk itulah perlu juga dibangun partisipasi politik oleh negara kepada masyarakat perbatasan, agar ada proses penciptaan ruang interaksi sosial-politik yang semakin dekat dengan  warga negara diperbatasan. seperti pendapat Santoso dalam (harris, Stokke & Tornquist) yang mengatakan proses lokalisasi politik adalah proses penciptaan ruang interaksi politik yang semakin dekat dengan warga negara dengan prinsip-prinsip subsidiaritas sehingga seluruh warga negara bisa terlibat secara aktif dalam proses politik dan kebijakan sesuai dengan karakteristik dan konteks local masing-masing..
                    Tetapi pola pembangunan lama dengan konsolidasi rezim orde baru dengan paradigm developmentalisme sangat berhasil memapankan kekuasaannya selama 32 tahun (Santoso,2015;xxxii). Sehingga secara idealnya pembangunan diwilayah perbatasan masih menggunakan paradigm lama yaitu dengan pertahanan militeristik. Orde baru memang sudah tumbang dan digantikan dengan reformasi pemerintahan, tetapi pembangunan dikawasan perbatasan secara postkolonisasi masih tersisa warisan lama dari pembangunan yang lama. walaupun memang sudah ada perhatian pemerintah untuk mengembangkan kawasan perbatasan tetapi masih terlihat retorika yang sangat hiperealitas sifatnya.
          Secara konseptualisasi pembangunan  merupakan suatu usaha atau proses perubahan, demi tercapainya tingkat kesejahteraan atau mutu hidup suatu masyarakat (dan individu-individu  di dalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan pembangunan itu. (Thereia dkk:2014). Kemudian proses perubahan yang ingin dicapai dalam pembangunan adalah perubahan yang menyeluruh yang mencakup beragam aspek dan tatanan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dalam prakteknya atau secara empirisme pembangunan harus benar-benar dimaksudkan untuk memperbaiki mutu hidup setiap individu dan masyarakatnya, dan tentu saja bukan mengorbankan manusia dan masyarakatnya demi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan.
          Sehingga pembangunan kawasan perbatasan tidak saja pembangunan yang sifatnya keamanan/security melalui pertahanan dan pengamanan territorial wilayah perbatasan, tetapi pembangunan kawasan perbatasan benar-benar harus bisa memperbaiki mutu atau kualitas individu atau masyarakat yang ada dikawasan perbatasan dalam segala aspek kehidupan.
Dalam fakta sosiologis Banyak problematika yang harus dituntaskan diwilayah perbatasan, sebagai pintu gerbang internasional dan beranda depan negara Indonesia. menurut Batubara(2015:30-31) secara garis besar menjelaskan tentang kesenjangan yang terjadi antara wilayah perbatasan dan bukan perbatasan untuk bisa diminimalkan, sehingga kesan daerah tertinggal dapat dihilangkan. Secara umum tantangan besar pengembangan wilayah perbatasan adalah bagaimana menyinergikan semua stakeholders terkait dalam pengembangan wilayah  dengan segala permasalahannya yang sangat multidimensi, seperti terkait dengan kepastian garis batas (delimitasi dan demarkasi), pertahanan dan keamanan, kedaulatan, ketersediaan infrastruktur, pergerakan lintas batas dan kelembagaan, serta kesejahteraan penduduk. Tetapi yang masih sangat retorika adalah masalah pemberdayaan ekonomi dan pendekatan sosial budaya dalam membangun wilayah perbatasan.
Urgensinya pembangunan wilayah perbatasan adalah untuk melihat dari dalam wilayah perbatasan dengan pendekatan modal sosial masyarakat diperbatasan. karena pendekatan modal sosial diperbatasan masih terbatas dengan retorika politik pemimpin dan tidak serius dalam implementasinya.
Pendekatan Modal Sosial atau kearifan local
          Modal sosial atau kearifan local (local wisdom) merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai,pandangan-pandangan setempat atau local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Karo, 2011).
          Dipihak lain, Puguh (2010) menyatakan bahwa kearifan local adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat local dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan lebutuhan mereka.
          Kearifan local merupakan bagian dari system budaya, biasanya berupa larangan-larangan (tabu-tabu) yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Kearifan local  berfungsi untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan aset yang dimiliki suatu masyarakat sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari generasi ke generasi berikutnya, tanpa harus merusak atau menghabiskan aset tersebut. Oleh sebab itu, kearifan local selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Hal ini merupakan wujud dari kesadaran terhadap hukum kausalitas (sebab-akibat) dan pemahaman terhadap hubungan yang bersifat simbiosis mutualis.(NGO, 2010).
Rekontruksi Pembangunan Kearifan Local di wilayah perbatasan.
          Dalam bingkai kearifan local, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain. Rekontruksi kearifan local dimasyarakat perbatasan harus dijadikan dasar dalam membangun wilayah perbatasan, karena menurut Theresia dkk (2014-73-74) dari waktu ke waktu nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar dan kehilangan makna substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata, menjadi symbol yang tidak ada artinya. Penguasa harus prioritaskan pembangunan wilayah perbatasan tanpa menghilangkan modal sosial yang tumbuh dan berkembang sampai hari ini dimasyarakat dan menjadi perekatnya.
          Kearifan local terdapat dalam kebudayaan local masyarakat diperbatasan, jangan sampai kearifan local hanya dijadikan formalitas saja dalam membangun wilayah perbatasan, sehingga tidak menguatkan gemeinschaft dimasyarakat local. Oleh karena itu menurut (Smiers, 2008) perlu ada revitalisasi budaya local (kearifan local) untuk membangun masyarakat madani di wilayah perbatasan yang unik. Oleh karena itulah perlu rekayasa sosial pemabangunan wilayah perbatasan oleh pemerintah dengan tetap mengedepankan pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan budaya local sebagai penyanggah pembangunan wilayah perbatasan. Kemudian pemerintah juga harus menjadikan payung hukum dalam perencanaan dan pembangunan wilayah perbatasan dengan tetap mengedepankan kearifan local.



Referensi:
1.   Theresia dkk, 2014. Pembangunan berbasis masyarakat. Bandung:Alfabeta
2.     Puguh, 2010. Membangun Masyarakat Madani berbasis kearifan local.

No comments:

Post a Comment