Pada
hakekatnya membangun wilayah perbatasan merupakan sebuah keharusan atau
keniscayaan, karena di laut wilayah NKRI atau Negara Kesatuan Republik
Indonesia berbatasan dengan 10 Negara sahabat yaitu India, Thailand, Vietnam,
Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia, dan
Timor Leste dan didarat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu Malaysia, Papua
Nugini dan RDTL.(Batubara:2015). Suatu keharusan yang tidak saja hanya secara
retorika, tetapi harus ada sinergitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Karena secara idealnya wilayah perbatasan merupakan beranda depan dari
sebuah negara Indonesia. untuk itulah perlu juga dibangun partisipasi politik
oleh negara kepada masyarakat perbatasan, agar ada proses penciptaan ruang
interaksi sosial-politik yang semakin dekat dengan warga negara diperbatasan. seperti pendapat
Santoso dalam (harris, Stokke & Tornquist) yang mengatakan proses
lokalisasi politik adalah proses penciptaan ruang interaksi politik yang
semakin dekat dengan warga negara dengan prinsip-prinsip subsidiaritas sehingga
seluruh warga negara bisa terlibat secara aktif dalam proses politik dan
kebijakan sesuai dengan karakteristik dan konteks local masing-masing..
Tetapi
pola pembangunan lama dengan konsolidasi rezim orde baru dengan paradigm
developmentalisme sangat berhasil memapankan kekuasaannya selama 32 tahun
(Santoso,2015;xxxii). Sehingga secara idealnya pembangunan diwilayah perbatasan
masih menggunakan paradigm lama yaitu dengan pertahanan militeristik. Orde baru
memang sudah tumbang dan digantikan dengan reformasi pemerintahan, tetapi
pembangunan dikawasan perbatasan secara postkolonisasi masih tersisa warisan
lama dari pembangunan yang lama. walaupun memang sudah ada perhatian pemerintah
untuk mengembangkan kawasan perbatasan tetapi masih terlihat retorika yang
sangat hiperealitas sifatnya.
Secara konseptualisasi
pembangunan merupakan suatu usaha atau proses
perubahan, demi tercapainya tingkat kesejahteraan atau mutu hidup suatu
masyarakat (dan individu-individu di
dalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan pembangunan itu. (Thereia
dkk:2014). Kemudian proses perubahan yang ingin dicapai dalam pembangunan
adalah perubahan yang menyeluruh yang mencakup beragam aspek dan tatanan
kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dalam prakteknya atau secara
empirisme pembangunan harus benar-benar dimaksudkan untuk memperbaiki mutu
hidup setiap individu dan masyarakatnya, dan tentu saja bukan mengorbankan
manusia dan masyarakatnya demi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan.
Sehingga pembangunan kawasan
perbatasan tidak saja pembangunan yang sifatnya keamanan/security melalui
pertahanan dan pengamanan territorial wilayah perbatasan, tetapi pembangunan
kawasan perbatasan benar-benar harus bisa memperbaiki mutu atau kualitas
individu atau masyarakat yang ada dikawasan perbatasan dalam segala aspek
kehidupan.
Dalam
fakta sosiologis Banyak problematika yang harus dituntaskan diwilayah
perbatasan, sebagai pintu gerbang internasional dan beranda depan negara
Indonesia. menurut Batubara(2015:30-31) secara garis besar menjelaskan tentang kesenjangan
yang terjadi antara wilayah perbatasan dan bukan perbatasan untuk bisa
diminimalkan, sehingga kesan daerah tertinggal dapat dihilangkan. Secara umum
tantangan besar pengembangan wilayah perbatasan adalah bagaimana menyinergikan
semua stakeholders terkait dalam pengembangan wilayah dengan segala permasalahannya yang sangat
multidimensi, seperti terkait dengan kepastian garis batas (delimitasi dan
demarkasi), pertahanan dan keamanan, kedaulatan, ketersediaan infrastruktur,
pergerakan lintas batas dan kelembagaan, serta kesejahteraan penduduk. Tetapi
yang masih sangat retorika adalah masalah pemberdayaan ekonomi dan pendekatan
sosial budaya dalam membangun wilayah perbatasan.
Urgensinya
pembangunan wilayah perbatasan adalah untuk melihat dari dalam wilayah
perbatasan dengan pendekatan modal sosial masyarakat diperbatasan. karena
pendekatan modal sosial diperbatasan masih terbatas dengan retorika politik
pemimpin dan tidak serius dalam implementasinya.
Pendekatan
Modal Sosial atau kearifan local
Modal sosial atau kearifan local (local wisdom) merupakan gagasan-gagasan
atau nilai-nilai,pandangan-pandangan setempat atau local yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya (Karo, 2011).
Dipihak lain, Puguh (2010) menyatakan
bahwa kearifan local adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat local
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan lebutuhan mereka.
Kearifan local merupakan bagian dari system
budaya, biasanya berupa larangan-larangan (tabu-tabu) yang mengatur hubungan
manusia dengan lingkungan alamnya. Kearifan local berfungsi untuk menjaga kelestarian dan
kesinambungan aset yang dimiliki suatu masyarakat sehingga masyarakat dapat
terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari generasi ke generasi berikutnya, tanpa
harus merusak atau menghabiskan aset tersebut. Oleh sebab itu, kearifan local
selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau
berperilaku dalam praksis kehidupannya. Hal ini merupakan wujud dari kesadaran
terhadap hukum kausalitas (sebab-akibat) dan pemahaman terhadap hubungan yang
bersifat simbiosis mutualis.(NGO, 2010).
Rekontruksi Pembangunan
Kearifan Local di wilayah perbatasan.
Dalam bingkai kearifan local,
masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain. Rekontruksi
kearifan local dimasyarakat perbatasan harus dijadikan dasar dalam membangun wilayah
perbatasan, karena menurut Theresia dkk (2014-73-74) dari waktu ke waktu
nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar dan kehilangan makna
substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata, menjadi symbol
yang tidak ada artinya. Penguasa harus prioritaskan pembangunan wilayah
perbatasan tanpa menghilangkan modal sosial yang tumbuh dan berkembang sampai
hari ini dimasyarakat dan menjadi perekatnya.
Kearifan local terdapat dalam
kebudayaan local masyarakat diperbatasan, jangan sampai kearifan local hanya
dijadikan formalitas saja dalam membangun wilayah perbatasan, sehingga tidak
menguatkan gemeinschaft dimasyarakat local. Oleh karena itu menurut (Smiers,
2008) perlu ada revitalisasi budaya local (kearifan local) untuk membangun
masyarakat madani di wilayah perbatasan yang unik. Oleh karena itulah perlu
rekayasa sosial pemabangunan wilayah perbatasan oleh pemerintah dengan tetap
mengedepankan pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan budaya local sebagai
penyanggah pembangunan wilayah perbatasan. Kemudian pemerintah juga harus
menjadikan payung hukum dalam perencanaan dan pembangunan wilayah perbatasan
dengan tetap mengedepankan kearifan local.
Referensi:
1. Theresia
dkk, 2014. Pembangunan berbasis masyarakat. Bandung:Alfabeta
2. Puguh,
2010. Membangun Masyarakat Madani berbasis kearifan local.
No comments:
Post a Comment