Tuesday 8 November 2016

KESADARAN MULTIKULTURALISME SEBAGAI MODAL SOSIAL BANGSA OLEH: SUYITO, S.Sos, M.Si Dosen Stisipol RH, Wakil Sekretaris Kahmi Prov. Kepri dan Presidium VMP Pusat



Sebagai sebuah bangsa yang sangat heterogen, Indonesia memiliki beragam suku, agama, bahasa, ideology, ras dan sebagainya. sebagai sebuah bangsa yang sangat majemuk atau plural tentu saja banyak sekali perbedaan-perbedaan didalamnya. Tetapi perbedaan tersebut tentu saja merupakan kekuatan bagi sebuah negara, untuk melakukan pembangunan. Karena perbedaan tentu saja akan menghasilkan sumbangan ide atau gagasan yang berbeda pula, sehingga Indonesia sebagai sebuah perahu akan menjadi kekuatan politik demokrasi yang sangat menghormati pluralitas atau kemajemukan itu sendiri. Tetapi negara yang sangat multikulturalisme bisa juga berbalik menjadi sebuah potensi konflik laten kalau negara yang sangat plural ini tidak dikelola dengan benar. Karena realitas konflik melekat dalam kehidupan sosial di masyarakat, seperti Nasikun (2009:5) mengatakan konflik pada hakekatnya merupakan gejala sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
          Dalam kondisi yang sangat plural atau majemuk, untuk menghilangkan keberagaman atau perbedaan merupakan hal yang sangat sulit dilakukan, karena negara ini lahir dan hidup tidak lepas dari budaya atau culture dan modal sosial yang hidup dan berkembang sebagai fakta sosial secara struktur sosial. Fakta sosial menurut Durkheim dalam buku Rules of Sociological Method dapat diartikan merupakan cara bertindak, berpikir, dan merasa yang ada diluar individu dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam masyarakat. kemudian dalam system sosial juga fakta sosial tersebut disosialisasikan dalam media sosialisasi seperti Keluarga, masyarakat, sekolah, peer group atau teman bermain dan lain-lain. Setelah dilakukan sosialisasi secara fakta sosial kemudian menjadi sebuah pembiasaan atau institusionalisasi sehingga akhirnya menjadi makna yang terinternalisasi dalam diri masyarakat yang serba pluralitas dengan multikulturalisme diseluruh negeri tercinta ini.
          Kemudian secara teoritik structural fungsional, Merton yang melakukan kritiknya terhadap teori ini dengan postulat, melahirkan alternative fungsional dalam masyarakat, secara sosiologis yang perlu dilihat adalah apa yang terjadi, bukan seharusnya apa yang terjadi. Sehingga dalam system sosial negara ini saling-silang pendapat atau apapun namanya harus ada katup penyelemat sehingga tidak menjadi konflik yang bersifat unicausal. Alternative fungsional multikulturalisme harus mampu menjadi jembatan dalam kelompok-kelompok yang berbeda tetapi tetap dapat berpartisipasi dengan bebas dalam institusional negara. Singkatnya attitude multikulturalisme ditunjukkan dalam eksistensi setiap warga negara yang harus banyak menyadari bahwa hidup di negara yang sangat plural dan majemuk, kemudian siap menerima segala macam perbedaan dalam masyarakat dan kemampuan menghargai perbedaan diantara anggota masyarakat.
          Sebagai modal sosial sebuah bangsa yang sangat majemuk, multikulturalisme menjadi sebuah kekuatan yang terintegrasi dan tingginya kesadaran kolektif warga negara kalau dirawat dan ditenun dengan baik, tetapi sebaliknya bisa juga menjadi disintegrasi yang bermuara pada anomi sosial sebuah bangsa.
          Istilah modal sosial dikenalkan pertama kali oleh Hanifan, yang mengatakan modal sosial adalah asset-aset intangible atau tidak bisa diperhitungkan yang ada dalam kehidupan sehari-hari seperti keinginan baik, persahabatan, simpati, hubungan sosial antar individu, keluarga, dan komunitas yang lebih luas. Pierre Bourdieu (1977) melakukan penelitian terkait modal sosial dalam teater sosiological dan menjadi orang pertama  yang melakukan studi modal sosial secara sistemik. Bourdieu menjelaskan bahwa modal sosial adalah merupakan sebuah jaringan dari hubungan-hubungan yang tidak terjadi secara alamiah tetapi merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam masyarakat. kemudian James Coleman memandang social capital dari sisi fungsinya. Kemudian Putnam lebih menekankan pada aspek modal sosialnya adalah seperangkat perkumpulan-perkumpulan horizontal yang terdiri atas kepercayaan, norma-norma, dan jaringan-jaringan yang dapat memfasilitasi kerjasama didalamnya untuk keuntungan bersama. Sedangkan Francis Fukuyama mengatakan modal sosial adalah suatu norma informal yang mendorong kerjasama antara dua orang atau lebih yang bisa berlangsung dalam konteks yang luas. Oleh karena itulah kunci pokok modal sosial adalah norma-norma sosial, jaringan sosial/social network dan trust/kepercayaan.
          Berkaitan kembali dengan kesadaran multikulturalisme sebagai modal sosial suatu bangsa, nilai-nilai pluralitas dan kemajemukan harus menjadi sebuah consensus bersama yang wujudnya adalah persatuan dan kesatuan yang dibingkai oleh Bhennika Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Negara ini harus dirawat dengan modal sosial yang tumbuh dan berkembang sebagai bangsa yang multikulturalisme dan menjadikan demokrasi sebagai proses menuju partisipasi masyarakat dalam negara ini. konsolidasi demokrasi sering terganggu belakangan ini dikarenakan masih kuatnya akar primordialisme kedaerahan yang cenderung mengarah pada unicausal konflik.
          Oleh karena itulah untuk melakukan perubahan secara mindset pola piker masyarakat didaerah, tentu saja harus dibangun strategi oleh negara dengan diberlakukannya pendidikan multicultural dengan harapan bisa memberi pemahaman bahkan penyadaran yang terkait dengan kondisi bangsa yang plural. Sehingga kesadaran multikulturalisme dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam menciptakan interaksi sosial masyarakat yang konstruktif bagi bangsa ini.
         

1 comment:

  1. Mantap pak..............

    Jangan lupa kunjungi www.lihatkepri.com (Media Portal Terbesar Kepulauan Riau)

    ReplyDelete