Sebagai sebuah bangsa yang sangat
heterogen, Indonesia memiliki beragam suku, agama, bahasa, ideology, ras dan
sebagainya. sebagai sebuah bangsa yang sangat majemuk atau plural tentu saja
banyak sekali perbedaan-perbedaan didalamnya. Tetapi perbedaan tersebut tentu
saja merupakan kekuatan bagi sebuah negara, untuk melakukan pembangunan. Karena
perbedaan tentu saja akan menghasilkan sumbangan ide atau gagasan yang berbeda
pula, sehingga Indonesia sebagai sebuah perahu akan menjadi kekuatan politik
demokrasi yang sangat menghormati pluralitas atau kemajemukan itu sendiri.
Tetapi negara yang sangat multikulturalisme bisa juga berbalik menjadi sebuah
potensi konflik laten kalau negara yang sangat plural ini tidak dikelola dengan
benar. Karena realitas konflik melekat dalam kehidupan sosial di masyarakat,
seperti Nasikun (2009:5) mengatakan konflik pada hakekatnya merupakan gejala
sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Dalam
kondisi yang sangat plural atau majemuk, untuk menghilangkan keberagaman atau
perbedaan merupakan hal yang sangat sulit dilakukan, karena negara ini lahir
dan hidup tidak lepas dari budaya atau culture dan modal sosial yang hidup dan
berkembang sebagai fakta sosial secara struktur sosial. Fakta sosial menurut
Durkheim dalam buku Rules of Sociological
Method dapat diartikan merupakan cara bertindak, berpikir, dan merasa yang
ada diluar individu dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di
dalam masyarakat. kemudian dalam system sosial juga fakta sosial tersebut
disosialisasikan dalam media sosialisasi seperti Keluarga, masyarakat, sekolah,
peer group atau teman bermain dan lain-lain. Setelah dilakukan sosialisasi
secara fakta sosial kemudian menjadi sebuah pembiasaan atau institusionalisasi
sehingga akhirnya menjadi makna yang terinternalisasi dalam diri masyarakat
yang serba pluralitas dengan multikulturalisme diseluruh negeri tercinta ini.
Kemudian
secara teoritik structural fungsional, Merton yang melakukan kritiknya terhadap
teori ini dengan postulat, melahirkan alternative fungsional dalam masyarakat,
secara sosiologis yang perlu dilihat adalah apa yang terjadi, bukan seharusnya
apa yang terjadi. Sehingga dalam system sosial negara ini saling-silang
pendapat atau apapun namanya harus ada katup penyelemat sehingga tidak menjadi
konflik yang bersifat unicausal. Alternative fungsional multikulturalisme harus
mampu menjadi jembatan dalam kelompok-kelompok yang berbeda tetapi tetap dapat
berpartisipasi dengan bebas dalam institusional negara. Singkatnya attitude
multikulturalisme ditunjukkan dalam eksistensi setiap warga negara yang harus
banyak menyadari bahwa hidup di negara yang sangat plural dan majemuk, kemudian
siap menerima segala macam perbedaan dalam masyarakat dan kemampuan menghargai
perbedaan diantara anggota masyarakat.
Sebagai
modal sosial sebuah bangsa yang sangat majemuk, multikulturalisme menjadi sebuah
kekuatan yang terintegrasi dan tingginya kesadaran kolektif warga negara kalau
dirawat dan ditenun dengan baik, tetapi sebaliknya bisa juga menjadi
disintegrasi yang bermuara pada anomi sosial sebuah bangsa.
Istilah
modal sosial dikenalkan pertama kali oleh Hanifan, yang mengatakan modal sosial
adalah asset-aset intangible atau tidak bisa diperhitungkan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari seperti keinginan baik, persahabatan, simpati, hubungan
sosial antar individu, keluarga, dan komunitas yang lebih luas. Pierre Bourdieu
(1977) melakukan penelitian terkait modal sosial dalam teater sosiological dan
menjadi orang pertama yang melakukan
studi modal sosial secara sistemik. Bourdieu menjelaskan bahwa modal sosial
adalah merupakan sebuah jaringan dari hubungan-hubungan yang tidak terjadi
secara alamiah tetapi merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam masyarakat.
kemudian James Coleman memandang social capital dari sisi fungsinya. Kemudian
Putnam lebih menekankan pada aspek modal sosialnya adalah seperangkat
perkumpulan-perkumpulan horizontal yang terdiri atas kepercayaan, norma-norma,
dan jaringan-jaringan yang dapat memfasilitasi kerjasama didalamnya untuk
keuntungan bersama. Sedangkan Francis Fukuyama mengatakan modal sosial adalah
suatu norma informal yang mendorong kerjasama antara dua orang atau lebih yang
bisa berlangsung dalam konteks yang luas. Oleh karena itulah kunci pokok modal
sosial adalah norma-norma sosial, jaringan sosial/social network dan
trust/kepercayaan.
Berkaitan
kembali dengan kesadaran multikulturalisme sebagai modal sosial suatu bangsa,
nilai-nilai pluralitas dan kemajemukan harus menjadi sebuah consensus bersama
yang wujudnya adalah persatuan dan kesatuan yang dibingkai oleh Bhennika
Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Negara ini harus
dirawat dengan modal sosial yang tumbuh dan berkembang sebagai bangsa yang
multikulturalisme dan menjadikan demokrasi sebagai proses menuju partisipasi masyarakat
dalam negara ini. konsolidasi demokrasi sering terganggu belakangan ini
dikarenakan masih kuatnya akar primordialisme kedaerahan yang cenderung
mengarah pada unicausal konflik.
Oleh
karena itulah untuk melakukan perubahan secara mindset pola piker masyarakat
didaerah, tentu saja harus dibangun strategi oleh negara dengan diberlakukannya
pendidikan multicultural dengan harapan bisa memberi pemahaman bahkan penyadaran
yang terkait dengan kondisi bangsa yang plural. Sehingga kesadaran
multikulturalisme dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam menciptakan
interaksi sosial masyarakat yang konstruktif bagi bangsa ini.
Mantap pak..............
ReplyDeleteJangan lupa kunjungi www.lihatkepri.com (Media Portal Terbesar Kepulauan Riau)