Lorong
kebisingan setiap adanya pilkada selalu selalu menjadi panggung politik yang
sangat ramai dan menjadi tontonan menarik bagi masyarakat. penuh intrik,
propaganda dan agitasi politik, saling serang antar loyalis masing kandidat
baik di media massa maupun dimedia sosial yang luar biasa cepatnya. Dramatisasi
gagasan menjadi panggung depan politik para actor-aktor politik yang selalu
melakukan pencitraan politik demi merebut suara masyarakat. kemudian yang tak
kalah hebatnya adalah para actor tersebut berani melakukan kampanye dengan
janji-janji bombastis kepada masyarakat, tanpa berpikir setelah terpilih nanti,
apakah akan bisa mewujudkan kenyataannya. Mirip drama dengan banyak lakon yang
dimainkan, pergi kepasar-pasar melakukan simulasi politik dengan menyapa para
pedagang-pedagang yang ada dipasar, kemudian turun kedaerah-daerah kumuh, demi
untuk meyakinkan audiens tentang keseriusannya apabila terpilih nanti.
Hakekat dari kampanye adalah bagaimana
para actor memainkan komunikasi politiknya pada audiens dipanggung depan, agar
khalayak bisa dipengaruhi dan persepsi public dibatasi dengan janji-janji
politik yang merupakan efek citra dari kuasa tersebut. Dalam kontek pilkada
tentu saja pesan dalam kampanye harus bisa disampaikan dengan jelas dan bisa
menyentuh lapisan paling bawah masyarakat, kalau ingin dipilih oleh kalangan
masyarakat bawah. Membangun isu-isu politik dengan keberpihakan terhadap masyarakat
kecil merupakan pesan politik yang harus dikonstruksi didalam media juga. Kemudian
pesan juga harus dikontruksi kepada kelompok politik yang lain, yang punya
kepentingan terhadap pilkada ini, misalnya kelompok pengusaha, mahasiswa, seni
dan lain sebagainya.
Membangun persepsi masyarakat dengan
dibatasi oleh beragam media adalah salah satu bentuk kampanye juga, tetapi
selain itu dibutuhkan track record yang nyata dalam aksi-aksi dalam pembelaan
terhadap public, dengan dibuktikan pada dimensi-dimensi sejarah yang tidak
menyakiti public sebelumnya, sehingga tidak membuat masyarakat bimbang untuk
memilih selanjutnya. Tetapi posisi actor atau para calon gubernur juga harus
bisa melakukan realisasi yang nyata terhadap program-program dan proyeksi yang
akan dibuatnya jika terpilih nantinya, paling tidak bisa mengungguli calon
petahana yang memang pernah melakukan kerja politik. Membangun image
kepemimpinan dengan tidak arogan, santun, tidak emosional juga harus bisa
ditunjukkan kepada khalayk public, sehingga membuat masyarakat nyaman dengan
sepak terjangnya jika terpilih nanti.
Selanjutnya setiap pasangan kandidat
harus membangun kelebihan-kelebihannya dan kualitas pribadinya agar bisa meyakinkan
kepada khalayak public. tetapi secara sosiologi komunikasi juga harus bisa
memahami kondisi struktur masyarakatnya, artinya siapa segmen pemilihnya,
jangan sampai salah menempatkan diri sebagai calon pemimpin. Karena kalau tidak
memahami konsumen politiknya tentu saja pasti akan tidak sampai pesan-pesan
politik tersebut.
Kampanye yang berkualitas tidak hanya
mengandalkan retorika yang bombastis dan charisma yang dibuat-dibuat oleh media
massa, tetapi setiap kandidat harus punya kompetensi dan kemampuan dalam
problem solving yang dihadapi oleh masyarakat. karena sering kita lihat para
kandidat hanya bisa beretorika dan karisma seorang pemimpin, tetapi sangat
miskin dalam pengalamannya menyelesaikan persoalan-persoalan dimasyarakat.
Akhirnya kampanye harus semakin
berkualitas yang dilakukan oleh para kandidat, dengan menyentuh pada
persoalan-persoalan substansial dimasyarakat, agar bisa memenangkan pertarungan
dalam demokrasi electoral nantinya. Semoga..
No comments:
Post a Comment