Secara
fungsionalisme pungutan liar yang terjadi dimasyarakat, baik di level
structural maupun di institusi pemerintah, bisa jadi karena disfungsionalnya
peran institusi secara internal dalam melakukan control terhadap lembaganya.
Dalam persfektif strukturalis memang seolah-olah institusi berjalan sesuai
dengan structural dan fungsional atau sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Karena dalam konsep peran ada sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat terhadap
tanggung jawab dari sebuah lembaga atau institusi, tetapi kemudian ada juga
peran yang disesuaikan dengan relativisme budaya yang berkembang dan tumbuh
dimasyarakat. secara sistemik sebuah lembaga sosial bisa dipertahankan
dimasyarakat karena adanya kontribusi
peran dan status yang dimainkan oleh individu atau institusi dalam
keberlangsungan masyarakat.
Dalam
analisis Fungsional Durkheim ternyata disebutkan ada anomi sosial atau
kehilangan pegangan terhadap aturan-aturan atau norma dalam kehidupan sosial,
terutama dalam lembaga sosial sehingga kedudukan dan peran dari sebuah lembaga
sosial tidak berjalan sedemikian rupa karena akibat terjadinya pungutan liar.
Dalam konsep yang ideal dalam sebuah lembaga sosial menurut asumsi analisis
structural fungsional harus dilihat sebagai sebuah sistem dimana
seluruh struktur sosialnya (juga masing-masing elemen) ‘terintegrasi’ menjadi satu,
masing-masing memiliki ‘fungsi’yang berbeda-beda tapi saling berkaitan, dan menciptakan
‘konsensus’ dan‘Keteraturan
Sosial’ serta keseluruhan elemen akan saling ‘beradaptasi’baik terhadap perubahan
internal dan eksternal dari masyarakat”. kemudian
dalam system tindakan sosial perlu adanya pendalaman terhadap system budaya,
system sosial, system kepribadian, dan system perilaku dalam sebuah lembaga
sosial atau lembaga pengendali sosial dimasyarakat. akan kita uraikan satu
persatu dalam melihat bagaimana pungutan liar ikut juga merusak suatu system
dalam kehidupan sosial dimasyarakat.
Dalam system
budaya ala Talcot Parson, titik tekannya adalah system budaya sangat besar pengaruhnya
terhadap keseluruhan system dalam lembaga sosial melalui sosialisasi,
institusionalisasi dan internalisasi. Sebuah lembaga sosial yang dipertahankan
dan dibutuhkan oleh masyarakat sudah pasti karena mampu melakukan
tanggungjawabnya dalam kinerja kepada masyarakat. sosialisasi merupakan
penanaman nilai-nilai atau norma yang difollow up menjadi tugas pokok dan
fungsi dalam sebuah organisasi modern yang lebih dikenal institusi sosial
dimasyarakat. banyak sekali institusi yang ada di negara ini yang mempunyai
aturan atau rule of game dalam melaksanakan tanggungjawab dan kewajibannya.
Penanaman nilai-nilai
dalam sebuah organisasi atau institusi merupakan fondasi yang urgen agar tidak
terjadi konflik peran dalam sebuah institusi. Kemudian secara fungsional
sosialisasi penting dilakukan agar orang-orang yang menjalankan kinerjanya
tidak melakukan penyimpangan dalam perannya, karena dalam sebuah organisasi
modern ada fungsinya juga menertibkan praktik-praktik pungutan liar dalam
sebuah pelayanan public dikantor-kantor pemerintah. Fungsi menertibkan
terjadinya pungutan-pungutan liar dalam sebuah lembaga-lembaga pemerintah agar
bisa menjaga keseimbangan sosial dimasyarakat dan itu prasyarat fungsional
suatu system.
System budaya
dalam analisis fungsional Parson juga melembagakan nilai-nilai atau norma
sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang harus dipatuhi dan dijalankan dalam
sebuah institusi sosial. Karena peran sosialisasi atau penanaman nilai-nilai
untuk bekerja secara jujur dan tidak melakukan pungutan liar terhadap pelayanan
public sangat korelatif sekali dalam pelembagann nilai dan norma tersebut,
karena sifatnya berulang-ulang sehingga system didalam institusi sosial tidak
terganggu. Akhirnya menjadi terinternalisasi atau mendarah daging kebiasaan tersebut
dalam sebuah system di setiap lembaga sosial tersebut.
Selanjutnya
system sosial menurut parson titik tekannya pada pada “Status dan Peran” yang
ditempati dan dimainkan oleh individu atau institusi sosial tertentu dalam
masyarakat, khususnya nilai signifikasinya dalam sistem yang lebih luas. Status
atau kedudukan dan peran pasti selalu saling berkaitan dalam sebuah system
sosial. Tidak ada status tanpa peran atau sebaliknya tidak ada peran tanpa
status. Kedudukan dan peran dalam setiap lembaga sosial didalam kehidupan
sosial harus berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan oleh masyarakat.
seseorang yang menduduki suatu jabatan terhormat dalam sebuah lembaga atau
istitusi idealnya harus konskuensi menjalankan amanah dan tanggung jawab
sebagai abdi masyarakat. seseorang yang menduduki stratifikasi sosial tertentu
dalam sebuah lembaga atau institusi harus bersih dan jujur terlebih dahulu,
sehingga bisa menjalankan perannya dan diikuti juga oleh bawahannya. Sehingga
keteladanan seorang pemimpin untuk tidak menerima kebiasaan pungutan liar
didalam sector pelayanan public tentu saja berdampak positif pada system sosial
dimasyarakat. kemudian system kepribadian dan system organisasi juga sangat
besar dipengaruhi oleh kuatnya system budaya dan system sosial. Sehingga
kebiasaan pungutan liar didalam system kepibadian juga bisa dielimir jika
system sosial dan budaya bisa berjalan norma dan tidak sebaliknya.
Tetapi dalam
prakteknya Parson juga dikritik oleh pengikutnya sendiri yaitu Robert K Merton.
Merton
menolak, dan menyatakan bahwa tidak semua
struktur sosial itu berfungsi positif, tapi juga ada yang berfungsi negatif,
yang disebut“Disfungsional”. Dua konsep Disfungsional
Merton: Sebuah struktur sosial bersifat disfungsional
terhadap keseluruhan sistem dan Sebuah struktur sosial bersifat fungsional pada
beberapa system dan disfungsional pada system lainnya. Melihat maraknya
pungutan liar di dalam setiap lembaga-lembaga sosial pemerintahan ternyata
tidak semua institusi dipemerintahan berfungsi positif dalam menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya, tetapi ada juga yang berfungsi negative dalam system
tersebut yang disebut disfungsional. Kemudian dalam prakteknya sebuah lembaga
atau institusi disfungsional akibat pungutan liar dan mempengaruhi sub system-sub
system lainnya untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya, walaupun itu juga
merupakan alternative pilihan oknum aparat dan masyarakat dalam consensus dalam
setiap penyimpangan public. alternative pilihan oknum melakukan pungutan liar
atau lazimnya disebut pungli, padahal secara structural tidak ada mekanisme
normal yang membolehkan, dan fungsi manifest dari pungutan liar sangat
intoleransi terhadap pelayanan public dan lain sebagainya. tetapi justru yang
harus kita lihat secara mendalam kenapa alternative pilihan oknum pejabat yang
melakukan pungutan liar itu tetap bertahan, bahkan masyarakat juga tidak
mempersoalkannya. Karena yang terjadi adalah fungsi laten atau yang tersembunyi
dibalik pungutan liar tersebut yang melibatkan para oknum-oknum pejabat didalam
setiap institusi pemerintah dan itu sengaja dipelihara karena menguntungkan
secara finansial. Akhirnya depedensi atau ketergantungan dan menjadi sebuah
kebiasaan yang berulang-ulang.
Selama ini kita selalu berpikir status
quo tentang para oknum pejabat didalam institusi yang selalu bekerja secara
fungsional dan mengabaikan fenomena-fenomena yang terjadi secara nyata
disfungsional terhadap keseluruhan system dalam birokrasi. Munculnya fenomena
pungutan liar atau pungli dimasyarakat mulai tergantikannya peran kerja secara
bertanggung jawab dan amanah serta tidak kompromi terhadap penyimpangan
birokrasi. Sangat ironis memang yang terjadi terhadap fenomena pungutan liar
yang tetap bertahan dan dijadikan alternative pilihan oleh para oknum-oknum
pejabat dalam setiap institusi pemerintah untuk memperkaya diri sendiri.
Selanjutnya bagaimana para oknum pejabat untuk bertanggung jawab dalam
memainkan perannya, sementara oknum tersebut tidak saja punya peran di
institusinya bekerja, tetapi banyak peran yang dimainkan didalam masyarakat.
Selanjutnya dalam persfektif konflik
marxis terjadinya pungutan liar karena adanya kepentingan individu-individu
yang akhirnya menjadi kelompok fungli. Kelompok pungli terjadi karena adanya
kesamaan kepentingan antar para oknum pegawai yang melakukan pungutan liar
tersebut. Berkuasa dan bertahannya kelompok pungutan liar ini karena didukung
oleh penguasa ditempat institusi itu berada, sehingga terkadang hasil pungli
tersebut tidak terdistribusi secara merata. Para kroco hanya mendapatkan
recehan saja, sedangkan oknum penguasanya tentu saja mendapatkan jatah yang
besar. Seperti terjadi didaerah sumatera utara tepatnya didaerah pelabuhan yang
pungutan liarnya sangat besar sekali. Kenapa ini terjadi? Karena adanya
legitimasi atau pembenaran dari masyarakat terhadap orang-orang yang masuk
dalam kelompok tidak terstruktur atau bisa juga terstruktur. Yang dianggap
selalu bisa mempermudah setiap urusan-urusan dipelabuhan, walaupun pengusaha
harus membayar besar, tetapi itu terjadi cukup lama dan sudah menjadi
kebiasaan. Akhirnya menjadi sebuah pembenaran kebiasaan pungli tersebut
disetiap lembaga atau institusi tersebut.
Pungutan liar yang dilakukan oleh para
oknum di setiap lembaga atau institusi pemerintah tentu saja tidak dilakukan sendiri,
tetapi tentu saja secara kelompok. Tetapi realitanya adalah kelompok elit atau
segelintir orang saja yang melakukan pungutan liar, tetapi punya power atau
kekuataan yang kelompok lain dipengaruhinya. Impian tentang tidak adanya
pungutan liar terus disuarakan oleh masyarakat terhadap penguasa, sebagai
bentuk komitmen moral kepada rakyat. dalam analisis sosialnya selalu bersifat
Unicausal yaitu satu penyebab utama untuk banyak masalah. Artinya pungutan liar
yang sudah cukup lama terjadi di negeri ini di segala sector, ternyata
menyebabkan rendahnya penerimaan negara, sehingga tidak meningkatkan
penghasilan negara. Kemudian kepercayaan masyarakat atau public terhadap
kinerja pemerintah semakin bobrok, dan ini merupakan dampak pungutan liar yang
massif dan berakibat kepada tata kelola pemerintahan dan clean government di
negara ini. kemudian terbentuknya kebiasaan pungutan liar yang melibatkan para
oknum pegawai di pemerintahan karena adanya ketimpangan penghasilan atau
distribusi pendapatan, dan juga gaya hidup modernitas yang berlebihan.
Kemudian pungutan liar yang terjadi
sangat massif dan cukup lama di masyarakat jika dianalisa dengan pendekatan
Kritis, yang mengatakan bahwa pemikiran individu diciptakan oleh lingkungan
sosial disekitar dia tinggal. Kemudian Ilmuwan sosial harus sadar peran
pentingnya untuk selalu mengkritik kondisi masyarakat sekaligus mengkritik
hasil pemikirannya berdasarkan kontribusinya pada masyarakat. pungutan liar
dalam pendekatan kritis terjadi karena diciptakan oleh lingkungan sosial,
artinya oknum pegawai yang melakukan pungli tersebut ternyata telah menciptakan
atau kontruksi sosial kepada pegawai lainnya untuk juga meniru atau justru akan
diasingkan oleh system yang sudah pungli tersebut.
Kemudian peran ilmuwan sosial juga harus
bisa mengkritik terhadap jalannya pemerintahan yang masih belum menerapkan
clean government, atau tata kelola pemerintahan sehingga masih banyaknya
praktik-praktik pungutan liar dan calo juga sebenarnya. Kritikan dari ilmuwan
sangat penting sebagai kaum intelektual yang masih kontribusi terhadap
pemerintah, dan tentu saja disertai dengan solusi yang konkrite kepada
pemerintah. Pungutan liar pada level atas atau elit juga sering melibatkan
konglemerat dengan para oknum birokrat dalam melakukan ekploitasi sumber daya
alam. Pemberian izin-izin pertambangan kepada para konglemerat atau pengusaha
sering kali mengabaikan pembangunan lingkungan yang sehat, akibat terjadinya
kongkalikong antara pengusaha dan para oknum birokrat dalam kekuasaan.
Dalam analisis selanjutnya dalam
konteks C. Wright Mills, yang sangat menekankan pada keterkaitan antara masalah
keterkaitan dan isu-isu public. dalam kaitannya dengan pungutan liar yang
terjadi di level institusi pemerintahan dan tempat lain juga, masuk dalam kategori
isyu dan bukan trouble atau hanya masalah pribadi semata. Karena terjadinya
sudah melibatkan orang-orang yang banyak dan sistemik, karena itu
penyelesaiannya juga harus tidak temporer tetapi harus segera diperbaiki
sistemnya dan orangnya sehingga isyu tentang pungutan liar ini bisa segera
diatasi dengan cepat dan bukan hanya membentuk satgas-satgas pungutan liar yang
sifatnya instan dan tidak menyentuh akar masalahnya.
Dalam analisis selanjutnya kita
gunakan pisau bedah dengan Non Marxis yaitu melihat persfektif konflik dengan
analitis yang ilmiah dan objektif dalam ranah sosiologi. Dengan dimotori oleh
tiga tokohnya Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Randal Collins. Dalam kajian
konflik Ralf Dahrendorf pungutan liar bisa dianalisis dengan terjadinya konflik
otoritas dengan yang tidak memiliki otoritas. Artinya pungutan liar ini terjadi
karena sudah terlembaga walaupun tidak seperti kelompok yang jelas strukturnya,
sehingga orang-orang yang bekerja yang tidak punya akses kepada atasannya
melawan dengan cara memberikan informasi kepada pihak luar atau kelompok
kepentingan agar bisa mengatasi kelompok yang membuat mereka yang tidak punya
akses kekuasaan dirugikan akibat pungutan liar tersebut. Sehingga semakin jelas
konfliknya antara mereka yang punya akses terhadap kekuasaan, sehingga berani
melakukan pungutan liar, dengan mereka yang tidak punya akses kekuasaan alias
para pekerja dilevel bawahan saja.
Kemudian disitulah terjadi konflik
stratifikasi pada level elit, karena mereka berjuang untuk bisa kelompoknya
berkuasa sehingga bisa menikmati aliran uang yang didapatkan dari pungutan liar
dalam izin-izin apapun, misalnya pertambangan, izin usaha industry yang
melibatkan oknum-oknum pada level pejabat dinegeri ini. kemudian berkembang
konflik kelompok dalam sebuah institusi antara yang pro dan kontra terhadap
pungli tersebut. Konflik kelompok tersebut tentu saja dipicu oleh kepentingan
dan kelompok kepentingan. Kelompok status quo yang punya akses kekuasaan tetap
mempertahankan kepentingannya, jangan sampai kelompok-kelompok yang tahu
perbuatan mereka sadar akan melakukan perlawanannya. Mereka sengaja tetap
memperhatikan kelompok semu yang belum menyadari, bahwa pungutan liar justru
akan membuat mereka juga terkena dampak akibatnya. Sementara kelompok status
quo tetap akan menjalankan atau melestarikan kepentingannya tetap menjadikan
pungutan liar sebagai tambahan untuk menambah pundi-pundi uang kelompok mereka.
Tetapi bisa juga terjadi konflik dan integrasi antara mereka yang berkonflik.
Dalam persfektif Simmel yang lebih menekankan integrasi dalam berkonflik,
melihat kelompok yang berkonflik sering juga mereka bersama-sama dalam bekerja
sama untuk hal yang lain.
Dalam analisis selanjutnya dalam
konteks Michelt Foucalt yang salah satu tokoh postmodernisme membahas tentang
relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan mempunyai
hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan
entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan
efek kekuasaan. Demikian bunyi teori Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan-Pengetahuan(Eriyanto,
2003:65). Foucalt memperlihatkan cara yang berbeda tentang kekuasaan,
penelitiannya tentang kekuasaan lebih pada individu, subjek dalam lingkup yang
paling kecil. Dalam masyarakat modern, semua tempat berlangsungnya kekuasaan
juga menjadi tempat pengetahuan. Kemudian Foucalt mendefinisikan strategi
kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana,
kehendak untuk mengetahu terumus dalam pengetahuan. Wacana bukan muncul begitu
saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing.
Dalam konteks makro pembangunan di
institusi negara ternyata tidak terlepas dari adanya pungutan-pungutan liar
yang dilakukan oknum-oknum secara individual dalam konteks mikro. Kemudian
selalu akan menciptakan pengetahuan baru tentang pungutan liar yang selalu
menimbulkan efek pada kekuasaan secara individual didalamnya. Tetapi dalam
prakteknya pengetahuan kita tentang pungutan liar selalu dibatasi oleh definisi
yang paling benar dan terpercaya. Kalau kita mendengar tentang pungutan liar
atau pungli selalu bayangannya pada wacana pungutan liar uang pada institusi
tertentu yang dilakukan oleh oknumnya. Wacana sudah membatasi pemikiran
khalayak ramai tentang pungutan liar tersebut, sehingga berpikiran dengan jalan
tertentu, bukan yang lain. Contohnya wacana dibentuknya satgas anti pungutan
liar yang dibentuk oleh pemerintah, khalayak umum dibatasi dan diarahkan
seolah-olah jalan satu-satunya pemberantasan pungutan liar hanya wacana
tersebut. Tentu saja pengetahuan tentang dibentuknya satgas tersebut
dilegitimasi oleh kekuasaan pengetahuan dibelakangnya. Apalagi dalam
perkembangan masyarakat modern hari ini tak bisa lepas dari peran media massa.
Media massa bukan saja berperan untuk menyampaikan informasi untuk khalayak
ramai, tetapi juga sebagai pembentukan wacana satgas anti pungutan liar yang mempengaruhi
public. media massa memproduksi pengetahuan pembenaran seolah-olah wacana
satgas anti pungutan liar merupakan solusi satu-satunya dan masyarakat
terhipnotis dengan wacana tersebut.
Jean Baudrillard dalam karyanya
tentang simulacera dan hyperreality. Ditengah kemajuan teknologi dan komunikasi
yang dahsyat telah hilang dan menguap. Kini kita hidup dizaman simulasi, dimana
realitas tidak hanya diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi
kini dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi. dibentuknya satgas anti pungutan
liar merupakan simulasi yang diciptakan diruang public oleh penguasa. Khalayak
ramai terhipnotis dengan gebrakan-gebrakan satgas tersebut, realitas buatan
pemerintah tersebut disimulasi dipublik dengan produksi media massa. Simulasi
yang dilakukan oleh satgas tersebut mendorong terjadinya hiperealitas, dimana
tidak ada lagi yang lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi dijadikan
rujukan. Yang realistis seolah-olah disimulasi oleh satgas anti pungutan liar tersebut.
Akhirnya simulasi mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan
yang imajiner, yang benar dan yang palsu.
Simulasi yang dilakukan oleh satgas
anti pungutan liar tersebut hanya merupakan pencitraan yang merupakan refleksi
dari maraknya pungutan liar yang terjadi sudah cukup lama. pencitraan
dibentuknya satgas anti pungutan liar tersebut juga merupakan pencitraan
penguasa dengan cara menutupi kebobrokan dan penyelewengan dari kenyataan yang
sebenarnya.
Dramatisasi yang dilakukan oleh pemerintah
dengan dibentuknya satgas juga merupakan aksi dramatis dengan cara menangkap
beberapa pungli di lini pemerintah, dan dijadikan tontonan didepan public.
khalayak ramai tidak tahu tontonan tersebut apakah realita yang sebenarnya atau
hanya produksi media massa saja. terbentuknya pola piker instan penguasa dengan
satgas tersebut seolah-olah seperti makanan cepat saji atau macdonaldisasi yang
bersifat rasionalitas formal. Dampak dari hiperealiti ini adanya kepercayaan
masyarakat terhadap tindakan satgas tersebut yang serba instan, tetapi bukan
sebenarnya. Akhirnya karena tidak diberantas dari hulu ke hilir, pungutan liar
tetap akan ada sampai kapanpun..hahahha…
No comments:
Post a Comment