Saturday 26 November 2016

PUNGUTAN LIAR



Secara fungsionalisme pungutan liar yang terjadi dimasyarakat, baik di level structural maupun di institusi pemerintah, bisa jadi karena disfungsionalnya peran institusi secara internal dalam melakukan control terhadap lembaganya. Dalam persfektif strukturalis memang seolah-olah institusi berjalan sesuai dengan structural dan fungsional atau sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Karena dalam konsep peran ada sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat terhadap tanggung jawab dari sebuah lembaga atau institusi, tetapi kemudian ada juga peran yang disesuaikan dengan relativisme budaya yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat. secara sistemik sebuah lembaga sosial bisa dipertahankan dimasyarakat karena adanya  kontribusi peran dan status yang dimainkan oleh individu atau institusi dalam keberlangsungan masyarakat.
Dalam analisis Fungsional Durkheim ternyata disebutkan ada anomi sosial atau kehilangan pegangan terhadap aturan-aturan atau norma dalam kehidupan sosial, terutama dalam lembaga sosial sehingga kedudukan dan peran dari sebuah lembaga sosial tidak berjalan sedemikian rupa karena akibat terjadinya pungutan liar. Dalam konsep yang ideal dalam sebuah lembaga sosial menurut asumsi analisis structural fungsional  harus dilihat sebagai sebuah sistem dimana seluruh struktur sosialnya (juga masing-masing elemen) ‘terintegrasi’ menjadi satu, masing-masing memiliki ‘fungsi’yang berbeda-beda tapi saling berkaitan, dan menciptakan ‘konsensus’ dan‘Keteraturan Sosial’ serta keseluruhan elemen akan saling ‘beradaptasi’baik terhadap perubahan internal dan eksternal dari masyarakat”. kemudian dalam system tindakan sosial perlu adanya pendalaman terhadap system budaya, system sosial, system kepribadian, dan system perilaku dalam sebuah lembaga sosial atau lembaga pengendali sosial dimasyarakat. akan kita uraikan satu persatu dalam melihat bagaimana pungutan liar ikut juga merusak suatu system dalam kehidupan sosial dimasyarakat.
          Dalam system budaya ala Talcot Parson, titik tekannya adalah system budaya sangat besar pengaruhnya terhadap keseluruhan system dalam lembaga sosial melalui sosialisasi, institusionalisasi dan internalisasi. Sebuah lembaga sosial yang dipertahankan dan dibutuhkan oleh masyarakat sudah pasti karena mampu melakukan tanggungjawabnya dalam kinerja kepada masyarakat. sosialisasi merupakan penanaman nilai-nilai atau norma yang difollow up menjadi tugas pokok dan fungsi dalam sebuah organisasi modern yang lebih dikenal institusi sosial dimasyarakat. banyak sekali institusi yang ada di negara ini yang mempunyai aturan atau rule of game dalam melaksanakan tanggungjawab dan kewajibannya.
 Penanaman nilai-nilai dalam sebuah organisasi atau institusi merupakan fondasi yang urgen agar tidak terjadi konflik peran dalam sebuah institusi. Kemudian secara fungsional sosialisasi penting dilakukan agar orang-orang yang menjalankan kinerjanya tidak melakukan penyimpangan dalam perannya, karena dalam sebuah organisasi modern ada fungsinya juga menertibkan praktik-praktik pungutan liar dalam sebuah pelayanan public dikantor-kantor pemerintah. Fungsi menertibkan terjadinya pungutan-pungutan liar dalam sebuah lembaga-lembaga pemerintah agar bisa menjaga keseimbangan sosial dimasyarakat dan itu prasyarat fungsional suatu system.
          System budaya dalam analisis fungsional Parson juga melembagakan nilai-nilai atau norma sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang harus dipatuhi dan dijalankan dalam sebuah institusi sosial. Karena peran sosialisasi atau penanaman nilai-nilai untuk bekerja secara jujur dan tidak melakukan pungutan liar terhadap pelayanan public sangat korelatif sekali dalam pelembagann nilai dan norma tersebut, karena sifatnya berulang-ulang sehingga system didalam institusi sosial tidak terganggu. Akhirnya menjadi terinternalisasi atau mendarah daging kebiasaan tersebut dalam sebuah system di setiap lembaga sosial tersebut.
          Selanjutnya system sosial menurut parson titik tekannya pada pada “Status dan Peran” yang ditempati dan dimainkan oleh individu atau institusi sosial tertentu dalam masyarakat, khususnya nilai signifikasinya dalam sistem yang lebih luas. Status atau kedudukan dan peran pasti selalu saling berkaitan dalam sebuah system sosial. Tidak ada status tanpa peran atau sebaliknya tidak ada peran tanpa status. Kedudukan dan peran dalam setiap lembaga sosial didalam kehidupan sosial harus berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan oleh masyarakat. seseorang yang menduduki suatu jabatan terhormat dalam sebuah lembaga atau istitusi idealnya harus konskuensi menjalankan amanah dan tanggung jawab sebagai abdi masyarakat. seseorang yang menduduki stratifikasi sosial tertentu dalam sebuah lembaga atau institusi harus bersih dan jujur terlebih dahulu, sehingga bisa menjalankan perannya dan diikuti juga oleh bawahannya. Sehingga keteladanan seorang pemimpin untuk tidak menerima kebiasaan pungutan liar didalam sector pelayanan public tentu saja berdampak positif pada system sosial dimasyarakat. kemudian system kepribadian dan system organisasi juga sangat besar dipengaruhi oleh kuatnya system budaya dan system sosial. Sehingga kebiasaan pungutan liar didalam system kepibadian juga bisa dielimir jika system sosial dan budaya bisa berjalan norma dan tidak sebaliknya.
          Tetapi dalam prakteknya Parson juga dikritik oleh pengikutnya sendiri yaitu Robert K Merton. Merton menolak, dan menyatakan  bahwa tidak semua struktur sosial itu berfungsi positif, tapi juga ada yang berfungsi negatif, yang disebut“Disfungsional”. Dua konsep Disfungsional Merton: Sebuah  struktur sosial bersifat disfungsional terhadap keseluruhan sistem dan Sebuah struktur sosial bersifat fungsional pada beberapa system dan disfungsional pada system lainnya. Melihat maraknya pungutan liar di dalam setiap lembaga-lembaga sosial pemerintahan ternyata tidak semua institusi dipemerintahan berfungsi positif dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, tetapi ada juga yang berfungsi negative dalam system tersebut yang disebut disfungsional. Kemudian dalam prakteknya sebuah lembaga atau institusi disfungsional akibat pungutan liar dan mempengaruhi sub system-sub system lainnya untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya, walaupun itu juga merupakan alternative pilihan oknum aparat dan masyarakat dalam consensus dalam setiap penyimpangan public. alternative pilihan oknum melakukan pungutan liar atau lazimnya disebut pungli, padahal secara structural tidak ada mekanisme normal yang membolehkan, dan fungsi manifest dari pungutan liar sangat intoleransi terhadap pelayanan public dan lain sebagainya. tetapi justru yang harus kita lihat secara mendalam kenapa alternative pilihan oknum pejabat yang melakukan pungutan liar itu tetap bertahan, bahkan masyarakat juga tidak mempersoalkannya. Karena yang terjadi adalah fungsi laten atau yang tersembunyi dibalik pungutan liar tersebut yang melibatkan para oknum-oknum pejabat didalam setiap institusi pemerintah dan itu sengaja dipelihara karena menguntungkan secara finansial. Akhirnya depedensi atau ketergantungan dan menjadi sebuah kebiasaan yang berulang-ulang.
          Selama ini kita selalu berpikir status quo tentang para oknum pejabat didalam institusi yang selalu bekerja secara fungsional dan mengabaikan fenomena-fenomena yang terjadi secara nyata disfungsional terhadap keseluruhan system dalam birokrasi. Munculnya fenomena pungutan liar atau pungli dimasyarakat mulai tergantikannya peran kerja secara bertanggung jawab dan amanah serta tidak kompromi terhadap penyimpangan birokrasi. Sangat ironis memang yang terjadi terhadap fenomena pungutan liar yang tetap bertahan dan dijadikan alternative pilihan oleh para oknum-oknum pejabat dalam setiap institusi pemerintah untuk memperkaya diri sendiri. Selanjutnya bagaimana para oknum pejabat untuk bertanggung jawab dalam memainkan perannya, sementara oknum tersebut tidak saja punya peran di institusinya bekerja, tetapi banyak peran yang dimainkan didalam masyarakat.
          Selanjutnya dalam persfektif konflik marxis terjadinya pungutan liar karena adanya kepentingan individu-individu yang akhirnya menjadi kelompok fungli. Kelompok pungli terjadi karena adanya kesamaan kepentingan antar para oknum pegawai yang melakukan pungutan liar tersebut. Berkuasa dan bertahannya kelompok pungutan liar ini karena didukung oleh penguasa ditempat institusi itu berada, sehingga terkadang hasil pungli tersebut tidak terdistribusi secara merata. Para kroco hanya mendapatkan recehan saja, sedangkan oknum penguasanya tentu saja mendapatkan jatah yang besar. Seperti terjadi didaerah sumatera utara tepatnya didaerah pelabuhan yang pungutan liarnya sangat besar sekali. Kenapa ini terjadi? Karena adanya legitimasi atau pembenaran dari masyarakat terhadap orang-orang yang masuk dalam kelompok tidak terstruktur atau bisa juga terstruktur. Yang dianggap selalu bisa mempermudah setiap urusan-urusan dipelabuhan, walaupun pengusaha harus membayar besar, tetapi itu terjadi cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan. Akhirnya menjadi sebuah pembenaran kebiasaan pungli tersebut disetiap lembaga atau institusi tersebut.
          Pungutan liar yang dilakukan oleh para oknum di setiap lembaga atau institusi pemerintah tentu saja tidak dilakukan sendiri, tetapi tentu saja secara kelompok. Tetapi realitanya adalah kelompok elit atau segelintir orang saja yang melakukan pungutan liar, tetapi punya power atau kekuataan yang kelompok lain dipengaruhinya. Impian tentang tidak adanya pungutan liar terus disuarakan oleh masyarakat terhadap penguasa, sebagai bentuk komitmen moral kepada rakyat. dalam analisis sosialnya selalu bersifat Unicausal yaitu satu penyebab utama untuk banyak masalah. Artinya pungutan liar yang sudah cukup lama terjadi di negeri ini di segala sector, ternyata menyebabkan rendahnya penerimaan negara, sehingga tidak meningkatkan penghasilan negara. Kemudian kepercayaan masyarakat atau public terhadap kinerja pemerintah semakin bobrok, dan ini merupakan dampak pungutan liar yang massif dan berakibat kepada tata kelola pemerintahan dan clean government di negara ini. kemudian terbentuknya kebiasaan pungutan liar yang melibatkan para oknum pegawai di pemerintahan karena adanya ketimpangan penghasilan atau distribusi pendapatan, dan juga gaya hidup modernitas yang berlebihan.
          Kemudian pungutan liar yang terjadi sangat massif dan cukup lama di masyarakat jika dianalisa dengan pendekatan Kritis, yang mengatakan bahwa pemikiran individu diciptakan oleh lingkungan sosial disekitar dia tinggal. Kemudian Ilmuwan sosial harus sadar peran pentingnya untuk selalu mengkritik kondisi masyarakat sekaligus mengkritik hasil pemikirannya berdasarkan kontribusinya pada masyarakat. pungutan liar dalam pendekatan kritis terjadi karena diciptakan oleh lingkungan sosial, artinya oknum pegawai yang melakukan pungli tersebut ternyata telah menciptakan atau kontruksi sosial kepada pegawai lainnya untuk juga meniru atau justru akan diasingkan oleh system yang sudah pungli tersebut.
          Kemudian peran ilmuwan sosial juga harus bisa mengkritik terhadap jalannya pemerintahan yang masih belum menerapkan clean government, atau tata kelola pemerintahan sehingga masih banyaknya praktik-praktik pungutan liar dan calo juga sebenarnya. Kritikan dari ilmuwan sangat penting sebagai kaum intelektual yang masih kontribusi terhadap pemerintah, dan tentu saja disertai dengan solusi yang konkrite kepada pemerintah. Pungutan liar pada level atas atau elit juga sering melibatkan konglemerat dengan para oknum birokrat dalam melakukan ekploitasi sumber daya alam. Pemberian izin-izin pertambangan kepada para konglemerat atau pengusaha sering kali mengabaikan pembangunan lingkungan yang sehat, akibat terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan para oknum birokrat dalam kekuasaan.
          Dalam analisis selanjutnya dalam konteks C. Wright Mills, yang sangat menekankan pada keterkaitan antara masalah keterkaitan dan isu-isu public. dalam kaitannya dengan pungutan liar yang terjadi di level institusi pemerintahan dan tempat lain juga, masuk dalam kategori isyu dan bukan trouble atau hanya masalah pribadi semata. Karena terjadinya sudah melibatkan orang-orang yang banyak dan sistemik, karena itu penyelesaiannya juga harus tidak temporer tetapi harus segera diperbaiki sistemnya dan orangnya sehingga isyu tentang pungutan liar ini bisa segera diatasi dengan cepat dan bukan hanya membentuk satgas-satgas pungutan liar yang sifatnya instan dan tidak menyentuh akar masalahnya.
          Dalam analisis selanjutnya kita gunakan pisau bedah dengan Non Marxis yaitu melihat persfektif konflik dengan analitis yang ilmiah dan objektif dalam ranah sosiologi. Dengan dimotori oleh tiga tokohnya Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Randal Collins. Dalam kajian konflik Ralf Dahrendorf pungutan liar bisa dianalisis dengan terjadinya konflik otoritas dengan yang tidak memiliki otoritas. Artinya pungutan liar ini terjadi karena sudah terlembaga walaupun tidak seperti kelompok yang jelas strukturnya, sehingga orang-orang yang bekerja yang tidak punya akses kepada atasannya melawan dengan cara memberikan informasi kepada pihak luar atau kelompok kepentingan agar bisa mengatasi kelompok yang membuat mereka yang tidak punya akses kekuasaan dirugikan akibat pungutan liar tersebut. Sehingga semakin jelas konfliknya antara mereka yang punya akses terhadap kekuasaan, sehingga berani melakukan pungutan liar, dengan mereka yang tidak punya akses kekuasaan alias para pekerja dilevel bawahan saja.
          Kemudian disitulah terjadi konflik stratifikasi pada level elit, karena mereka berjuang untuk bisa kelompoknya berkuasa sehingga bisa menikmati aliran uang yang didapatkan dari pungutan liar dalam izin-izin apapun, misalnya pertambangan, izin usaha industry yang melibatkan oknum-oknum pada level pejabat dinegeri ini. kemudian berkembang konflik kelompok dalam sebuah institusi antara yang pro dan kontra terhadap pungli tersebut. Konflik kelompok tersebut tentu saja dipicu oleh kepentingan dan kelompok kepentingan. Kelompok status quo yang punya akses kekuasaan tetap mempertahankan kepentingannya, jangan sampai kelompok-kelompok yang tahu perbuatan mereka sadar akan melakukan perlawanannya. Mereka sengaja tetap memperhatikan kelompok semu yang belum menyadari, bahwa pungutan liar justru akan membuat mereka juga terkena dampak akibatnya. Sementara kelompok status quo tetap akan menjalankan atau melestarikan kepentingannya tetap menjadikan pungutan liar sebagai tambahan untuk menambah pundi-pundi uang kelompok mereka. Tetapi bisa juga terjadi konflik dan integrasi antara mereka yang berkonflik. Dalam persfektif Simmel yang lebih menekankan integrasi dalam berkonflik, melihat kelompok yang berkonflik sering juga mereka bersama-sama dalam bekerja sama untuk hal yang lain.
          Dalam analisis selanjutnya dalam konteks Michelt Foucalt yang salah satu tokoh postmodernisme membahas tentang relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Demikian bunyi teori Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan-Pengetahuan(Eriyanto, 2003:65). Foucalt memperlihatkan cara yang berbeda tentang kekuasaan, penelitiannya tentang kekuasaan lebih pada individu, subjek dalam lingkup yang paling kecil. Dalam masyarakat modern, semua tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat pengetahuan. Kemudian Foucalt mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahu terumus dalam pengetahuan. Wacana bukan muncul begitu saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing.
          Dalam konteks makro pembangunan di institusi negara ternyata tidak terlepas dari adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oknum-oknum secara individual dalam konteks mikro. Kemudian selalu akan menciptakan pengetahuan baru tentang pungutan liar yang selalu menimbulkan efek pada kekuasaan secara individual didalamnya. Tetapi dalam prakteknya pengetahuan kita tentang pungutan liar selalu dibatasi oleh definisi yang paling benar dan terpercaya. Kalau kita mendengar tentang pungutan liar atau pungli selalu bayangannya pada wacana pungutan liar uang pada institusi tertentu yang dilakukan oleh oknumnya. Wacana sudah membatasi pemikiran khalayak ramai tentang pungutan liar tersebut, sehingga berpikiran dengan jalan tertentu, bukan yang lain. Contohnya wacana dibentuknya satgas anti pungutan liar yang dibentuk oleh pemerintah, khalayak umum dibatasi dan diarahkan seolah-olah jalan satu-satunya pemberantasan pungutan liar hanya wacana tersebut. Tentu saja pengetahuan tentang dibentuknya satgas tersebut dilegitimasi oleh kekuasaan pengetahuan dibelakangnya. Apalagi dalam perkembangan masyarakat modern hari ini tak bisa lepas dari peran media massa. Media massa bukan saja berperan untuk menyampaikan informasi untuk khalayak ramai, tetapi juga sebagai pembentukan wacana satgas anti pungutan liar yang mempengaruhi public. media massa memproduksi pengetahuan pembenaran seolah-olah wacana satgas anti pungutan liar merupakan solusi satu-satunya dan masyarakat terhipnotis dengan wacana tersebut.
          Jean Baudrillard dalam karyanya tentang simulacera dan hyperreality. Ditengah kemajuan teknologi dan komunikasi yang dahsyat telah hilang dan menguap. Kini kita hidup dizaman simulasi, dimana realitas tidak hanya diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi. dibentuknya satgas anti pungutan liar merupakan simulasi yang diciptakan diruang public oleh penguasa. Khalayak ramai terhipnotis dengan gebrakan-gebrakan satgas tersebut, realitas buatan pemerintah tersebut disimulasi dipublik dengan produksi media massa. Simulasi yang dilakukan oleh satgas tersebut mendorong terjadinya hiperealitas, dimana tidak ada lagi yang lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi dijadikan rujukan. Yang realistis seolah-olah disimulasi oleh satgas anti pungutan liar tersebut. Akhirnya simulasi mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dan yang palsu.
          Simulasi yang dilakukan oleh satgas anti pungutan liar tersebut hanya merupakan pencitraan yang merupakan refleksi dari maraknya pungutan liar yang terjadi sudah cukup lama. pencitraan dibentuknya satgas anti pungutan liar tersebut juga merupakan pencitraan penguasa dengan cara menutupi kebobrokan dan penyelewengan dari kenyataan yang sebenarnya.
          Dramatisasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan dibentuknya satgas juga merupakan aksi dramatis dengan cara menangkap beberapa pungli di lini pemerintah, dan dijadikan tontonan didepan public. khalayak ramai tidak tahu tontonan tersebut apakah realita yang sebenarnya atau hanya produksi media massa saja. terbentuknya pola piker instan penguasa dengan satgas tersebut seolah-olah seperti makanan cepat saji atau macdonaldisasi yang bersifat rasionalitas formal. Dampak dari hiperealiti ini adanya kepercayaan masyarakat terhadap tindakan satgas tersebut yang serba instan, tetapi bukan sebenarnya. Akhirnya karena tidak diberantas dari hulu ke hilir, pungutan liar tetap akan ada sampai kapanpun..hahahha…








No comments:

Post a Comment