Friday 30 September 2016

DEMOKRASI ELIT DIDAERAH OLEH: Suyito, S.Sos, M.Si Dosen Stisipol Tanjungpinang Wasekum Kahmi Prov. Kepri dan Presidium VMP Pusat.



Demokrasi patronase sangat berkait berkelindan dengan relasi-relasi sosial yang ada dan yang terus bisa dipertahankan. Ini jelas bukan sejenis fakta elite yang rapuh. Tapi inilah persekutuan partikularistik, yang cenderung mengeklusikan mereka yang tak punya hubungan-hubungan koneksi seperti kelompok-kelompok minoritas non-bisnis, non-lokal, atau kaum melarat yang tak punya apapun untuk ditawarkan kepada patron.
          Demokrasi yang dikuasai para patronase sering kali berkuasa dalam menentukan kepentingan ekonomi dan politik dalam kekuasaannya. Modal politik yang dibutuhkan oleh elit politik dan calon penguasa dalam mempertahankan syahwat politiknya didaerah. patron politik selalu punya jaringan sosial ekonomi dengan para elit ekonomi yang bisa memberikan dukungan finansial dalam ikut kontestasi demokrasi electoral didaerah. dalam ranah sosiologis ada persepsi secara structural fungsional yang sangat berperan didaerah. masyarakat didaerah selalu dipengaruhi secara ekternal oleh kekuatan-kekuatan politik yang sangat primordialisme sehingga terkadang masyarakat dihadapkan dengan pilihan yang sangat dilematis dalam menentukan pilihannya. Demokrasi patronase rupanya hanya dimainkan oleh para elit politik dalam ranah public, sebenarnya para calon kandidat juga seperti calon boneka yang nantinya apabila berkuasa juga akan tersandera oleh kepentingan para kapitalis yang sangat kuat dalam pemerintahan.
          Status sosial para patronase juga sangat besar mempengaruhi wilayah public dalam pilihan politiknya, akibat masyarakat tidak bisa berpikir secara rasional dalam menentukan pilihannya, tetapi sangat besar dipengaruhi oleh para tim sukses patron politik dalam melakukan propaganda politik dan agitasi politik di dalam masyarakat. basis masyarakat yang sangat tradisional tentu saja sangat dominan sekali dipengaruhinya. Akibat semakin masifnya budaya popular dalam dunia maya. Masyarakat sering tidak bisa berdaya dalam menghadapi pengaruh media yang sudah dijadikan alat untuk melakukan conter balik apabila ada serangan kepada calon petahana. Dalam demokrasi patronase media juga menjadi basis sosial dalam memperkuat popularitas sang calon penguasa untuk bermain dramaturgi atau pencitraan semu dalam masyarakat.
          Elit ekonomi dan elit politik menjadi sahabat baik dalam usaha untuk mempertahankan kekuasaannya, karena penguasa butuh modal politik dalam usaha politik kekuasaannya, sedangkan elit ekonomi butuh dukungan penguasa untuk leluasa menjadikan kepentingannya tetap aman dalam wilayah penguasa. Sering kali para patron ekonomi dan politik duduk di ranah public untuk sekedar menghabiskan waktu berdiskusi dalam banyak hal,tentu saja kepentingan tetap menjadi prioritas yang paling utama. Para elit konservatif tersebut berusaha untuk mempertahankan status quo penguasa agar tetap bisa melestarikan kepentingannya. Demokrasi patronase merupakan suatu cara para elit politik dengan membajak nilai-nilai demokrasi agar bisa melakukan control atau pengawasan terhadap adanya oposisi-oposisi yang selalu melakukan kritikan terhadap kekuasaannya. Padahal dalam demokrasi kritikan dari public merupakan suatu sumbangan yang patut didengar dan dihargai, agar tetap bisa menjaga keseimbangan dalam menjalankan azaz-azaz pemerintahan yang baik oleh seorang pemimpin.
          Kita lihat sekarang ini para elit local sangat sibuk dikampung halamannya karena mereka menjadi patron bagi banyak masyarakat dari kalangan kaum kebanyakan. Para elit local yang duduk di kekuasaan baik eksekutif maupun legislative menjalankan hegemoni melalui organisasi-organisasi kedaerahan, keagamaan, organisasi kepemudaan. Di organisasi yang sangat banyak tersebut patron berusaha untuk mempengaruhi dengan jalan fluiditas politik agar bisa ketergantungan dalam persoalan finansial. Kita juga sering miris meihat kelompok civil society yang tidak mengambil peran dan tanggung jawab dalam melakukan kontroling terhadap jalannya kekuasaan. Kemudian para patron yang menghegemoni kekuatan organisasi didaerah menjadikan mandul dalam ruang gerak kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat penguasa. Manipulasi kesadaran yang dilakukan patron terhadap para aktivis organisasi menjadikannya lebih leluasa secara diam-diam untuk mempertahankan syahwat politiknya dengan cara-cara yang tidak lazim dalam kekuasaannya.
          Kemudian yang tidak kalah dahsyatnya adalah patronase didalam birokratis sangat besar sekali dalam melakukan campur tangan. Birokratis sering kali dijadikan objek politik yang harus ikut apa kata penguasa, sehingga profesionalitas dalam birokratis sedikit demi sedikit ikut gaya kepemimpinan seorang penguasa. Apalagi pemimpin yang tidak punya pengalaman panjang dalam memimpin birokratis didaerah. para penguasa juga melakukan patronase khususnya melalui pekerjaan-pekerjaan birokrat dan melakukan control terhadap rente yang tersedia dalam proyek-proyek yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah. Pengelolaan birokratis semakin jauh dari nilai-nilai regulative yang sudah diatur dalam rezim hukum. Sehingga akan menjadikan preseden yang tidak bagus dalam budaya pengelolaan birokrat. Patron semakin amatir dalam tindakan dan kebijakannya didaerah, terutama pada penentuan rotasi jabatan-jabatan kekuasaan didalam Kabinetnya. Para sengkuni politik atau para elit local dan kaum oligarki yang ada dilingkaran kekuasaannya selalu menjadi pembisik utama dalam ikut mempengaruhi proses kepentingan politik dan kepentingan ekonominya.
          Para aktivis atau penggiat demokrasi didaerah harus lebih banyak belajar lagi dalam situasi didaerah yang demokrasinya dikuasai oleh elit-elit politik dan elit ekonomi sehingga menjadi demokrasi patronase. Padahal demokrasi sejatinya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. tetapi dalam prakteknya demokrasi disandera oleh kaum patron atau elit konservatif yang punya jaringan-jaringan dengan para elit ekonomi dan juga para oligarki, sehingga demokrasi patronase semakin lestari dan hidup dalam otonomi daerah. Ini akibat dari para aktivis atau penggiat demokrasi didaerah juga masih begitu kompromi dengan para penguasa. Apalagi dihadapkan pada kebutuhan psikological need yang menyandera para aktivis demokrasi didaerah. akhirnya perjuangan untuk mengawal demokrasi didaerah menjadi tidak produktif akibat tersandera oleh kepentingan ekonomi dan politik.
          Konsekuensi logis yang terjadi didaerah, patronase bisa saja hidup dalam ranah demokrasi, tetapi demokrasi semakin deficit. Deficit demokrasi akibat terjadinya ketimpangan ekonomi dan politik jangka panjang. Kemudian hubungan patron-klien dalam ranah demokrasi local didaerah akan terus menjadi persoalan yang panjang kalau penggiat demokrasi tidak serius dalam melakukan konsolidasi demokrasi didaerah.  

No comments:

Post a Comment