Demokrasi
electoral atau langsung memang sebuah harapan dari masyarakat untuk bisa
menentukan calon pemimpin yang diharapkan, sehingga mampu memberikan harapan
kepada masyarakat ditengah-tengah makin banyaknya pemimpin yang tidak
mementingkan rakyatnya. Tetapi secara sosiologis demokrasi electoral dipermukaan
bawah juga dirusak oleh semakin masifnya politik uang yang mengakibatkan
menurunnya demokrasi electoral. Bahkan demokrasi electoral atau sekarang
dirubah mekanismenya dengan pemilu serentak ternyata sudah menjadi pasar
politik uang antara calon penguasa dengan para pemilih di lingkungan
masyarakat. harga sebuah suara ternyata tidak ditentukan oleh kaidah hukum
permintaan tetapi lebih ditentukan oleh variable yang sulit di ukur.
Pasar
politik uang terjadi dan sangat massif kalau dilihat dari kondisi pemilih yang
masih seret dalam ekonomi, ibarat tutup ketemu botolnya. Kondisi pemilih secara
ekonomi sangat besar mempengaruhi terjadinya pasar politik uang dimasyarakat.
kondisi ekonomi masyarakat yang belum sejahtera dan banyaknya pengangguran atau
penghasilan yang tidak mencukupi menjadi sasaran bagi para kandidat untuk
melakukan praktek jual beli suara. Fenomena jual beli suara sudah bukan menjadi
rahasia umum lagi di kalangan masyarakat hari ini. disinilah substansi
demokrasi semakin deficit akibat semakin tidak diaajarkannya pendidikan politik
cerdas kepada masyarakat. apalagi masyarakat sudah semakin cerdas untuk dirayu
hanya dengan janji-janji politik yang sering kali dilupakan oleh para kandidat
saat sudah duduk di singgasana kekuasaannya. Fenomena jual beli suara akibat
para kandidat tidak punya ideology dan jiwa untuk membangun daerah. Ini juga
diakibatkan oleh fenomena lingkungan politik yang sudah semakin besar
pengaruhnya kepada para kandidat untuk melakukan jual beli suara dimasyarakat.
Fenomena
politik uang juga terjadi akibat pengaruh dari structural dimasyarakat.
pengaruh structural yaitu adanya orang-orang berpengaruh didalam lingkungan
masyarakat yang bisa mempengaruhi orang-orang dalam menentukan pilihannya. Dalam
tindakan sosial Weberian dinamakan dengan tindakan tradisional. Tindakan tradisonal
artinya orang dalam memilih kandidat tidak menggunakan rasional berpikir yang
banyak pertimbangannya, tetapi justru ditentukan oleh tokoh masyarakat, tokoh
adat, tokoh agama. Hegemoni para tokoh pada lapisan sosial dimasyarakat yang
mempengaruhi independensi orang-orang dalam menentukan pilihannya saat pilkada
berlangsung. Jadi secara structural politik ternyata besar pengaruhnya para
elit dimasyarakat dalam mempengaruhi, apalagi para pemilih sangat tinggi
ketergantungannya pada patron di daerah.
Selanjutnya
pasar politik uang juga diramaikan saat
sebelum pilkada berlangsung, sudah ada kesepakatan antara kandidat dengan para
pemilih dan dibayar dengan cara bayar dimuka terlebih dahulu. Kalau menang maka
akan dibayar semua janji politik tersebut, walaupun ada juga yang ingkar janji
dalam realitasnya. Tetapi di sebagian masyarakat ada juga yang hanya kerjanya
sebagai golongan pengumpul uang tunai dari para tim sukses kandidat yang akan
maju, tetapi tidak memilih. Karena ada juga yang punya alasan tidak ada gunanya
memilih para kandidat tersebut, karena tidak ada realisasinya untuk masyarakat
saat terpilih. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi mengatakan kandidat yang
menang udah lupa dengan siapa pemilihnya dan sombong pula setelah terpilih. Dia
lupa mandat diberikan oleh masyarakat, tetapi peran dan tanggung jawab sangat
miskin sekali untuk mengabdi kepada masyarakat, begitulah realisasinya. Tetapi begitulah
adaptasi atau kemampuan para kandidat dalam melakukan tradisi menyesuaikan
dengan masyarakat, biar terpilih tujuan sebenarnya. Berbaurnya para kandidat
dalam masyarakat merupakan strategi untuk bisa mengambil simpati masyarakat
agar bisa mempengaruhi kesadaran politik masyarakat dan memilihnya. Pola seperti
itu seringkali dipakai para kandidat dalam memuluskan hajatnya.
Kemudian
dalam masyarakat juga ada kelompok yang tetap segan untuk tidak memilih karena
politik uang yang dilakukan oleh timses para kandidat. Ini merupakan sasaran
empuk para timses untuk mempengaruhi tingkat keterpilihannya. Biasanya diberikan
para timses saat momentum seremonial keagamaan, upacara adat dimasyarakat
tertentu ataupun kegiatan sosial sehingga menambah semaraknya pasar politik
uang dalam demokrasi electoral di daerah.
Selanjutnya
dalam pasar politik uang juga diramaikan oleh primordialisme etnis dan hubungan
kekerabatan yang mempengaruhi electoral dalam setiap momentum pilkada dalam
demokrasi didaerah. primordialisme etnis juga menjadi sasaran para timses
kandidat dalam meningkatkan elektabilitas dalam pemilihan. Weberian sering menamakan
ini dengan tindakan afeksional, atau adanya kekuatan ikatan emosional dalam
setiap pemilih karena adanya kesamaan dalam latar belakang etnis dan asal daerah.
Hal ini umumnya dijumpai didaerah yang sangat heterogen atau komposisi etnik
yang beragam didaerah. tujuannya adalah untuk membangkitkan spirit
primordialisme dengan tujuan bisa mendukung kandidat yang akan bertarung dalam
pilkada. Sering kali ini dijumpai di dalam kehidupan politik masyarakat. para kandidat
berusaha sowan kepada setiap kelompok suku atau paguyuban-paguyuban untuk
meminta dukungan politik agar menang dalam momentum pilkada saat berlangsung.
Begitulah
yang terjadi dalam pasar politik uang dalam setiap momentum pilkada langsung
atau pilkada serentak saat ini.walaupun sering kita lihat para kandidat tidak
mau melakukan kontrak tertulis yang mengikat secara hukum. Karena bisa saja
kontrak tertulis itu dijadikan alat bukti untuk proses hukum. Kontrak antara
kandidat hanya terjadi pada perjanjian yang tidak diikat apapun, sehingga kalau
ingin menuntut tidak punya dasar apapun. Sehingga sering kita lihat para
kandidat yang menang dalam pertarungan sering lupa untuk menunaikan janjinya
kepada masyarakat yang memilihnya. Sehingga momentum pilkada serentak dijadikan
pasar politik uang oleh para kandidat dan juga para pemilih, atau hanya
bersifat untung-untungan. Dari kesimpulan uraian diatas ternyata pasar politik
uang terjadi kecenderungannya disebabkan oleh factor kondisi ekonomi pemilih,patron
politik dimasyarakat, timing saat memberikan uang, dan juga factor primordialisme
etnis.
Para
kandidat politik didaerah harus tetap di ingatkan bahwa demokrasi harus semakin
cerdas dan bermutu, jika selama ini gencar dalam memburu suara rakyat dengan
cara-cara tradisional. Para kandidat juga perlu melakukan politician education, agar masa depan demokrasi electoral semakin
membuahkan hasil yang diharapkan oleh masyarakat.
Banyak
uang bukan menjadi jaminan untuk terpilih, karena kalau ideology itu yang
dipakai oleh kandidat maka akan berusaha meminimalisasikan politik uang setiap
pilkada. Karena politik uang akan membuat rapuh dan menurunkan legitimasi
pemerintahan dimata masyarakat. oleh karena itulah perlu diputus lingkaran
setan politik uang didalam setiap demokrasi electoral, agar dapat menghadirkan Clean Politics atau politik yang
berintegritas. Semoga.
No comments:
Post a Comment